Selasa, 07 Juni 2016

MAKALAH AL-QUR’AN HADITS “PENGERTIAN HADITS, SUNNAH, KHABAR, ATSAR, SERTA HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KE-2”

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada hakekatnya umat Islam di dunia ini sama dengan umat agama lain. Kesamaan yang dimaksud dalam hal ini adalah sama-sama memiliki kitab sebagai pedomannya. Jika umat kristen memiliki kitab Injil sebagai pedomannya, umat Hindu memiliki kitab Trimurti, dan umat Budha yang memiliki kitab Weda sebagai pegangan hidupnya maka umat islam memilki Kitab Al-Qur’an Al-Karim sebagai pedoman hidupnya. Kitab Al-Qur’an ini adalah mukjizat yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran, ketetapan yang mutlak mengenai agama islam. Namun ada pembahasan yang terdapat dalam Al-qur’an yang masih bersifat global. Oleh karena itu Munculah Al-Hadits yang fungsinya menyempurnakan dan menjelaskan kitab-kitab terdahulu seperti kitab Taurat, Zabur, Injil dan termasuk juga Al-Qur’an.
Akan tetapi banyak orang tanpa terkecuali para ulama yang memperdebatkan antara Al-Hadits yang identik dengan As-Sunnah. Apakah kedua hal itu sama maksudnya? Tetapi hanya berbeda istilah dan cara orang menafsirkannya? Ataukah antara As-sunnah dan Al-Hadits, keduanya benar-benar memiliki maksud dan pengertian yang berbeda?
Oleh karena hal itu kami akan coba memaparkan dan memberikan penjelasan tentang apa itu yang dimaksud dengan Al-Hadist, Khabar, Atsar dan hal-hal yang berkaitan.
Namun pembahasan mengenai Al-Hadits pada makalah ini janganlah para pembaca menjadikan makalah ini sebagai acuan yang mutlak dan pasti akan kebenarannya ini. tentunya kami mempunyai kekurangan dalam menyajikan pembahasan ini. Semoga makalah ini bermanfaat. Amiin.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan hadits, sunnah, khabar, dan atsar ?
2. Apa saja persamaan dan perbedaan antara hadits, sunnah, khabar, dan atsar ?
3. Mengapa hadits dijadikan sebagai sumber hukum islam yang kedua ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian hadits, sunnah, khabar, dan atsar.
2. Mengetahui persamaan dan perbedaan antara hadits, sunnah, khabar, dan atsar.
3. Mengerti dan memahami hadits sebagai sumber hukum islam yang kedua.


BAB II
PEMBAHASAN

A. HADITS
1. Pengertian Hadits
Hadits mempunyai beberapa sinonim / muradif menurut para pakar ilmu hadits, yaitu khabar, dan atsar. Masing – masing istilah ini nanti akan dibicarakan pada pembahasan berikut. Sekarang akan dibahas pengertian hadits, karena yang banyak disebut di tengah – tengah masyarakat islam adalah hadits. Sebelum berbicara pengertian hadits secara terminologi terlebih dahulu dibicarakan dari segi etimologi. Kata “ hadits ”  berasal dari asal kata :
حَدَ ثَ  يَحْدُثُ  حُدُوْ ثَا  وَحَدَاَ ثةَ                                            
Hadis dari asal kata di atas memiliki beberapa makna, di antaranya :
a. الْجِدَّة (al–jiddah = baru), dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada atau sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan dari kata al–qadim = terdahulu, misalnya : الْعا لمُ  حَدِ يْثُ /  حَاِدثُ  alam baru. Alam maksudnya segala sesuatu selain Allah, baru berarti diciptakan setelah tidak ada. Makna etimologi ini mempunyai konteks teologis, bahwa segala kalam selain kalam Allah bersifat hadits (baru), sedangkan kalam Allah bersifat qadim (terdahulu).
b. الطَّرِ يُّ (ath–thari = lunak, lembut dan baru ). Misalnya : الرَّ جُلُ  الْحَدَ ث Pemuda laki – laki. Ibnu faris mengatakan bahwa hadits dari kata ini karena berita atau kalam itu datang secara silih berganti bagaikan perkembangan usia yang silih berganti dari masa ke masa.
c. اْلخَبَرُ  وَالْكَلَامُ (al–khabar = berita, pembicaraan dan perkataan), oleh karena itu ungkapan pemberitaan hadits yang diungkapkan oleh para perawi yang menyampaikan periwayatan jika bersambung sanadnya selalu menggunakan ungkapan : حَدَّ ثَنَا = memberitakan kepada kami, atau sesamanya seperti mengkhabarkan kepada kami, dan menceritakan kepada kami. Hadits di sini diartikan sama dengan al–khabar dan an-naba’.
Dari segi terminologi, banyak para ahli hadits (muhadditsin) memberikan definisi yang berbeda redaksi tetapi maknanya sama.
Hadist mempunyai 3 komponen yakni :
a) Menurut istilah ahli ushul; pengertian hadis adalah :

كل ما صدرعن النبى ص م غيرالقران الكريم من قول اوفعل اوتقريرممايصلح ان يكون دليلا لحكم شرعى
Artinya : “Hadits yaitu segala sesuatu yang dikeluarkan dari Nabi SAW selain Al Qur’an al Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara’”.
b) Menurut istilah fuqaha. Hadits adalah :

كل ماثبت عن النبى ص م ولم يكن من باب الفرض ولاالواجب
Artinya : “Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah–masalah fardhu atau wajib”
c) Menurut ulama’ Hadits mendefinisikannya sebagai berikut :

كل ما اثر عن النبى ص م من قول اوفعل اوتقريراوصفة خلقية او خلقية
Artinya : “Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat–sifat maupun hal yang berkaitan dengan Nabi.”
d) Menurut jumhur muhaditsin sebagaimana ditulis oleh Fatchur Rahman adalah sebagai berikut :
مااضيف للنبى ص م قولااوفعلااوتقريرااونحوها
Artinya : “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan sebagainya.”
Perbedaan pengertian antara ulama’ ushul dan ulama’ hadis di atas disebabkan adanya perbedaan disiplin ilmu yang mempunyai pembahasan dan tujuan masing–masing. Ulama’ ushul membahas pribadi dan prilaku Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum syara’ yang dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid di zaman sesudah beliau. Sedangkan ulama’ Hadits membahas pribadi dan prilaku Nabi Saw sebagai tokoh panutan (pemimpin) yang telah diberi gelar oleh Allah swt sebagai Uswah wa Qudwah (teladan dan tuntunan).
Jadi, Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmahnya

2. Bentuk-Bentuk Hadits
Berdasarkan pengertian istilah yang dikemukakan oleh ulama, secara lebih mendetail bentuk – bentuk (cara-cara) yang termasuk kedalam kategori hadits menurut Muhammad Abdul Rauf, seperti dikutip Syuhudi Ismail, ialah:
a. Sifat-siat Nabi SAW. yang dikemukakan sahabat;
b. Perbuatan dan akhlak Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh para sahabat;
c. Sikap dan perbuatan para sahabat yang didiamkan/dibiarkan Nabi SAW. (disebut juga dengan taqrir an-nabiy);
d. Timbulnya beragam pendapat sahabat di hadapan Nabi SAW. lalu beliau mengemukakan pendapatnya sendiri atau mengakui salah satu pendapat sahabat itu.
e. Sabda Nabi SAW. yang keluar dari lisan beliau sendiri;
f. Firman Allah selain al-Qur’an yang disampaikan oleh Nabi SAW. yang biasa disebut dengan hadis qudsy;
g. Surat-surat Nabi SAW. yang dikirimkan kepada para sahabat yang bertugas di daerah-daerah atau kepada pihak di luar Islam.
Sebagaimana dalam uraian di atas telah disebutkan bahwa Hadits mencakup segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW. Oleh karena itu, pada bahasan ini akan diuraikan tentang bentuk Hadits Qouli, Fi’li, Taqriri, Hammi, dan Ahwali.
a. Hadits Qouli
Yang dimaksud dengan Hadits Qouli adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW. yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan, baik yang berkaitan dengan aqidah, syari’ah, akhlak, maupun yang lainnya. Di antara contoh Hadits Qouli ialah Hadits tentang do’a Rosul SAW. yang ditujukan kepada yang mendengar , menghafal, dan menyampaikan ilmu. Hadits tersebut berbunyi:

انضر الله امراسمع منا حد يثا فحفظه حتى يبلغه غيره فاءنه رب حامل فقه ليس بفقيه ورب حامل فقه الى من هو افقه منه ثلا ث حصال لايغل عليهن قلب مسلم ابدا اخلاص العمل لله ومنا صحة ولاةالآمرولزوم الجماحة فاءن دعوتهم تحيط من ورائهم (وراه احمد)

Artinya :“Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataan dariku kemudian menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain, karena banyak orang berbicara mengenai fiqh padahal ia bukan ahlinya. Ada tiga sifat yang karenanya tidak akan timbul rasa dengki dihati seorang muslim, yaitu ikhlas beramal semata-mata kepada Allah SWT., menasehati, taat dan patuh kepada pihak penguasa; dan setia terhadap jama’ah. Karena sesungguhnya do’a mereka akan memberikan motivasi (dan menjaganya) dari belakang”. (HR. Ahmad)
Contoh lain Hadits tentang bacaan al-Fatihah dalam shalat, yang berbunyi:

لا صلاة لمن لم يقرا بفا تحــــة الكتــا ب (رواه مسلم)
Artinya : “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Fatihah Al- Kitab”. (HR. Muslim)
b. Hadits Fi’li
Dimaksudkan dengan hadits Fi’li adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai kepada kita. Seperti Hadits tentang shalat dan haji. Contoh Hadits Fi’li tentang shalat adalah sabda Nabi SAW. yang berbunyi:
صلّوا كما رأيتمو ني أصلي (زواه البخا رى)

Artinya : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. (HR. Bukhari)
Contoh lainnya, Hadits yang berbunyi:

كان النبيّ صلّى الله عليه و سلّم يصلّــــــــــي علـــــــى راحلته حيث ما تو جّهت به (رواه التر مذى)
Artinya : “Nabi SAW shalat diatas tunggangannya, ke mana saja tunggangannya itu menghadap”. (HR. Al=Tirmidzi)
c. Hadits Taqriri
Yang dimaksud dengan hadits taqriri adalah segala hadits yang berupa ketetapan Nabi SAW. terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Nabi SAW. membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, setelah memenuhi beberapa syarat, baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya.
Diantara contoh Hadits Taqriri, ialah sikap Rasul SAW. membiarkan para sahabat melaksanakan perintahnya, sesuai dengan penafsirannya masing-masing sahabat terhadap sabdanya, yang berbunyi:

لا يصلّينّ أحد العصر إلاّ في بني قر يظــــــــــة (رواه البخا رى)

Artinya : “Janganlah seorangpun shalat ‘Asar kecuali di Bani Quraizah”.
Sebagian sahabat memahami larangan tersebut berdasarkan pada hakikat perintah tersebut, sehingga mereka tidak melaksanakan shalat ‘Asar pada waktunya. Sedang segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut dengan perlunya segera menuju Bani Quraizah dan jangan santai dalam peperangan, sehingga bisa shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi SAW. tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.
d. Hadis Hammi
Yang dimaksud dengan hadis hammi adalah hadis yang berupa hasrat Nabi SAW. yang belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Dalam riwayat Ibn Abbas, disebutkan sebagai berikut:

حين صا م رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يـــــــــوم عا شو راء ؤأ مر بصيا مه, قا لوا يا ر سو ل الله إنّه يوم تعظّعه اليهود والنّصا رى فقال فاءذا كـــــا ن العــــــــام المقبل إن شاء الله صمنا اليــــــــوم النّا ســــع (رواه مسلم)
Artinya : ” Ketika Nabi SAW. berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: Ya Nabi! Hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Nabi SAW, bersabda: Tahun yang akan datang insya’ Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan “. (HR. Muslim)”
Nabi SAW, belum sempat merealisasikan hasratnya ini, karena wafat sebelum sampai bulan ‘Asyura. Menurut Imam Syafi’I dan para pengikutnya, bahwa menjalankan hadis hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah yang lainnya.
e. Hadits Ahwali
Yang dimaksud dengan hadits ahwali ialah hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW. yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya. Tentang keadaan fisik Nabi SAW. dalam beberapa hadits disebutkan, bahwa fisiknya tidak terlalu tinggi dan tidak pendek, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Barra’ dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, sebagai berikut:

كا ن رسو الله صلّى الله عليه وسلّم أحسن النّاس وجها وأحسنه خلقا ليس بـــالطويل البـــــا ئن ولابالقصير (رواه البخارى)
Artinya : “Rasul SAW. adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek”. (HR. Bukhari)
Pada hadis lain disebutkan:

قال أنس رضي الله عنه ما مسست حر يـــــــرا ولا ديباجا ألين من كفّ النّبيّ صلّى الله عليه وســـــلّم ولا شممت ريحا قطّ أوعر فا قطّ أطيب من ريح أو حر ف النّبيّ صلّــــى الله عليه و ســـــــلّم (رواه البخا رى)

Artinya : “Berkata Anas bin Malik: Aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna (yang halus) sehalus telapak tangan Rasul SAW. juga belum pernah mencium wewangian seharum Rasul SAW. (HR. Bukhari).

3. Unsur-Unsur Hadits
a. Sanad
Kata “Sanad” menurut bahasa adalah “sandaran” atau sesuatu yang akan dijadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadist bersandar kepadanya. Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Al-Thiby mengatakan bahwa : “Berita tentang jalan matan”. Ada juga yang menyebutkan :“Silsilah para perawi yang menukilkan hadist dari sumbernya yang pertama”.  Sedangkan menurut Ahli Hadist: “Jalan yang menyampaikan kepada matan hadits.
Yang berkaitan dengan istilah sanad, terdapat kata-kata seperti, al-isnad, al-musnid dan al-musnad. Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama.
Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal) dan mengangkat. Yang dimaksud disini ialah menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya (raf’u hadits ila qa ‘ilih atau ‘azwu hadits ila qa’ilih). Menurut At-thiby,“Kata al-isnad dan al-sanad digunakan oleh para ahli dengan pengertian yang sama”. Kata al-musnad mempunyai beberapa arti, bisa berarti hadits yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang, bisa berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan system penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat, perawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad, bisa juga berarti nama bagi hadits yang marfu’ dan muttashil.
b. Matan
Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti Mairtafa’a min al-ardi (tanah yang meninggi). Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah : “Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW. Yang disebutkan sanadnya”.
c. Rawi ( periwayat)
Kata “rawi” atau “al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadits (naqil al-hadits).
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap tabaqahnya juga disebut rawi, jika yang dimaksud rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi yang membedakan antara sanad dan rawi adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits. Orang yang menerima hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan perawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin (Orang yang membukukan dan menghimpun hadits).
Dari berbagai pengertian tentang sanad, matan dan rawi dengan berbagai urgensi yang berbeda-beda yang menunjukan begitu indah perbedaan pemikiran yang menghiasi pengertian tentang sanad, matan dan rawi. Dengan ini kami menyimpulkan bahwa yang dimaksud sanad adalah orang-orang yang meriwayatkan hadits atau yang menyampaikan hadits pada matan. Matan adalah isi, materi atau lafadz hadits itu sendiri sedangkan rawi adalah orang yang menghimpun dan membukukan hadits.
d. Mukharrij              
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya).
Di dalam suatu hadits biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadits tersebut, semisal mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.
Seperti pada contoh hadits yang pertama, pada bagian paling akhir hadits tersebut disebutkan nama Al-Bukhari (رواه البخاري) yang menunjukkan bahwa beliaulah yang telah mengeluarkan hadits tersebut dan termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari.

4. Macam-Macam Hadits
Macam-macam hadits dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi :
- Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad Saw.
- Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat Nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'.
- Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus).

b. Berdasarkan keutuhan rantai/ lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasinya hadits terbagi menjadi beberapa golongan yaitu :
- Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
- Hadits Mursal yaitu bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah Saw.
- Hadits Munqati' yaitu bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3.
- Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
- Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1.
c. Berdasarkan jumlah penutur.
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas :
- Hadits muttawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu.
- Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan muttawatir.
d. Berdasarkan tingkat keaslian hadits.
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi :
- Hadits shahih yakni hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam penelitiannya, dan sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).
- Hadits hasan yakni bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya.
- Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal) dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
- Hadits Maudu, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.

B. SUNNAH
1. Pengertian Sunnah
Di samping istilah hadis terdapat sinonim istilah yang sering digunakan oleh para ulama’ yaitu sunnah. Pengertian istilah tersebut hampir sama, walaupun terdapat beberapa perbedaan. Maka dari itu kami kemukakan pengertiannya agar lebih jelas.
Sunnah dalam kitab Ushul Al hadis adalah sebagai berikut :

مااثرعن النبى ص م من قول اوفعل اوتقرير اوصفة خلقية اوسيرة سواء كان قبل البعثة اوبعدها
Artinya : “Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau sesudahnya”.
Dalam pengertian tersebut tentu ada kesamaan antara hadis dan sunnah, yang sama–sama bersandar pada Nabi saw, tetapi terdapat kekhususan bahwa sunnah sudah jelas segala yang bersandar pada pribadi Muhammad baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi, misalnya mengembala kambing, menikah minimal umur 25 tahun dan sebagainya.
Walaupun demikian terdapat perbedaan yang sebaiknya kita tidak berlebihan dalam menyikapinya. Sebab keduanya sama–sama bersumber pada Nabi Muhammad saw.
Kalangan ahli agama di dalam memberikan pengertian sunnah berbeda-beda, sebab para Ulama’ memandang sunnah dari segi yang berbeda-beda pula serta dasar membicarakannya dari segi yang berlainan.
a. Ulama Hadits
Ulama Hadits memberikan pengertian Sunnah meliputi biografi Nabi, sifat-sifat Nabi baik yang berupa fisik, umpamanya; mengenai tubuhnya, rambutnya dan sebagainya, maupun yang mengenai physic dan akhlak Nabi dalam keadaan sehari-harinya, baik sebelum atau sesudah bi’stah atau di angkat sebagai nabi.
b. Ulama Ushul Fiqh
Ulama Ushul Fiqh memberikan pengertian sebagai berikut; “Segala yang di nuklikan dari Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan Hukum”.
c. Ulama Fiqh
Menurut Ulama Fiqh, sunnah ialah “perbuatan yang di lakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Jadi suatu pekerjaan yang utama di kerjakan”. Atau dengan kata lain: sunnah ialah suatu amalan yang di beri pahala apabila di kerjakan, dan tidak dituntut apabila di tinggalkan.

C. KHABAR
1. Pengertian Khabar
Khabar secara bahasa, artinya warta atau berita yang disampaikan dari seseorang  kepada orang lain Khabar menurut istilah ahli hadits adalah,
ما أضيف الي النبي صلي الله عليه وسلم أو غيره
Artinya : “Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW,atau dari yang selain Nabi SAW.”
Maksudnya bahwa khabar itu cakupannya lebih luas dibanding dengan hadits. Khabar mencakup segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. dan selain Nabi SAW, seperti perkataan sahabat dan tabi’in.
Khabar menurut bahasa serupa dengan makna hadits, yakni segala berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sedang pengertian khabar menurut istilah, antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda pendapat. Menurut ulama ahli hadits sama artinya dengan hadits, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu marfu’. Mauquf, dan maqthu’, mencakup segala yang datang dari Nabi SAW., sahabat dan tabi’in, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut hadits. Ada juga yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dan lebih luas daripada khabar, sehingga tiap hadits dapat dikatakan khabar, tetapi tidak setiap khabar dikatakan hadits.
Contoh hadits yang berbunyi :
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَآءِ
Artinya : “Islam itu mulanya asing dan akan kembali asing seperti semula. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang asing”.

D. ATSAR
1. Pengertian Atsar
Atsar menurut lughat/etimologi ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, atau berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. dan berarti nukilan (yang dinukilkan).
Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan sahabat.
Menurut istilah Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar juga hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Dari pengertian menurut istilah ini, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan khabar untuk yang marfu. (yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam .
Jadi, atsar merupakan istilah bagi segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berkait misal dikatakan atsar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan menurut istilah:
ماروي عن الصحابة ويحوزاطلاقه على كلام النبى ايضا
Artinya: “yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dan boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi SAW”.
Contoh Atsar :
Perkataan Hasan Al-Bashri rahimahullaahu tentang hukum shalat di belakang ahlul bid’ah:
وَقَالَ الْحَسَنُ: صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدَعَتُهُ
Artinya : “Shalatlah (di belakangnya), dan tanggungan dia bid’ah yang dia kerjakan.”
Contoh doa nabi SAW yang diriwayatkan oleh Annas, r.a :
وعن انس رضي الله عنه قال : كان اكثر دعاء النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم اللّهمّ آتنا فى الدّنيا حسنة و فى الآخرة حسنة وقنا عذاب النّار (متفق عليه )

Artinya : “Dari Anas r.a, ia berkata : doa nabi SAW yang paling banyak (dibaca) adalah “wahai Allah, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (HR. Bukhari Muslim).

E. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HADITS, KHABAR, DAN ATSAR
Para ulama membedakan antara hadits, khabar dan atsar sebagai berikut:
1. Hadits dan sunnah: hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber pada Nabi SAW, sedangkan sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at, budi pekerti atau perjalanan hidupnya, baik sebelum di angkat menjadi rasul maupun sesudahnya.
2. Hadits dan khabar : sebagian ulama hadits berpendapat bahwa khabar sebagai suatu yang berasal atau disandarkan kepada selain nabi SAW., hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan pada Nabi SAW.
3. Hadits dan atsar: jumhur ulama berpendapat bahwa atsar sama artinya dengan khabar dan hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in.
Di kalangan jumhur ulama umumnya berpendapat bahwa hadis, khabar, dan atsar tidak ada perbedaannya atau sama saja pengertiannya, yaitu segala sesuatu yang dinukilkan dari Rasululloh SAW, sahabat atau tabi’in baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan, baik semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu saja, maupun lebih sering dan banyak diikuti oleh para sahabat.
Lanjutnya ada pula yang berpendapat bahwa khabar cakupannya lebih umum daripada hadis. khabar mencangkup segala berita yang berasal dari Nabi, sahabat, maupun tabi’in. Sedangkan hadis, cakupannya hanya sesuatu yang berasal dari Nabi saja. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa atsar cakupannya lebih luas daripada khabar. Atsar meliputi segala yang datang dari Nabi dan selainnya, sedangkan khabar cakupannya hanya sesuatu yang datang dari Nabi saja.

RANGKUMAN PERBEDAAN
HADITS DAN SINONIMNYA
Hadis dan Sinonimnya Sandaran Aspek dan Spesifikasi Sifatnya
Hadis Nabi Perkataan (qawli)
Perbuatan (fi’li)
Persetujuan (taqriri) Lebih khusus dan sekalipun dilakukan sekali
Sunnah Nabi dan Sahabat Perbuatn (fi’li) Menjadi tradisi
Khabar Nabi dan selainnya Perkataan (qawli)
Perbuatan (fi’li) Lebih umum
Atsar Sahabat dan tabi’in Perkataan (qawli)
Perbuatan (fi’li) Umum

F. HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA
1. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam
Hadits adalah salah satu unsur terpenting dalam Islam. Ia menempati martabat kedua setelah Al Qur'an dari sumber-sumber hukum Islam. Dalam artian, jika suatu masalah atau kasus terjadi di masyarakat, tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al Qur'an, maka hakim atau mujtahid harus kembali kepada Hadits Nabi SAW. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: Artinya : “... dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-Hasyr/59:7). Selain itu, firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an yang Artinya: “Barangsiapa mentaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisa’/4:80)
Landasan utama bagi otoritas kehujjahan hadis adalah Al Quran sendiri. Artinya, Al Quranlah yang memerintahkan agar seorang muslim senantiasa taat kepada Rasûlullâh Saw, mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Perintah dan larangan Rasûlullâh Saw tersebut tidak dapat diketahui melainkan melalui hadis-hadis yang ditinggalkannya. Oleh karena itu, taat kepada Rasûlullâh Saw tak lain artinya ialah senantiasa berpegang dan mengamalkan hadis-hadisnya.
Banyak  ayat Al Qur'an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa bahwa hadits itu merupakan argumen (hujjah) selain Al Qur'an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya.
Di dalam Al-Quran dijelaskan umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantara ayatnya adalah sebagai berikut :
a. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
b. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31).
c. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
d. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As-sunnah dalam menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafi’i berkata;
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله ص م فقولوا بسنة رسول الله ص م ودعوا ما قلت
Artinya : “apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.”
Perkataan imam Syafi’i ini memberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi Saw. Dan apa yang dikategorikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam Asy-Syafi’i ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.  Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.Untuk mengetahui  sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli.
Kaum muslimin sepakat bahwa as-sunnah menjadi dasar hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan dalil yang memberi petunjuk tentang kedudukan dan fungsi as-sunnah, baik yang nash, ijma’, ataupun pertimbangan akal yang sehat. Dasar kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hukum islam adalah Al-Qur’an, hadits, Ijma, dan Dalil Aqli.
a. Dalil Al-Qur’an.
Banyak ayat al-qur’an yang berkenaan dengan masalah ini, salah satunya yaitu:
وما اتكم الرسولفخذ و ه و ما نهكم عنه فا نتهوا واتقوا الله إن الله شديد العقاب
الحشر:٧
Artinya : “apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr (59) : 7)
ومن يطع الرسول فقد اطاعالله
النساء : ٨٠
Artinya : “ barang siapa yang mentaati Rasul itu sesungguhnya dia telah mentaati Allah”. (Q.S. An-Nisa’:80).
Dari gambaran ayat-ayat seperti ini, maka menunjukkan betapa urgennya kedudukan penetapan kewajiban taat kepada semua yang disampaikan oleh Rasul SAW. Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa kewajiban taat kepada Rasul Muhammad dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat islam.
b. Dalil Al-Hadits.
Rasul bersabda :
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ماتمسكتمبهما كتب الله وسنة نبيه
Artinya : “aku tinggalkan 2 pusakan untukmu sekalian yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (HR. Malik)
c. Kesepakatan ulama’ (Ijma’).
Seluruh umat islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum Syariat islam yang wajib diikuti dan diamalkan, karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Penerimaan mereka terhadap hadist sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum syariat islam.
Adapun peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum islam pada masa sahabat, antara lain :
1) Pada saat abu bakar ra dibaiat menjadi khalifah, ia dengan tegas berkata “ saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut menjadi orang, bila meninggalkan perintahnya”.
2) Pada saat Umar bin Khattab ada didepan hajar aswad ia berkata :’saya tahu bahwa engkau adalah sebuah batu. Seandainya saya sendiri tidak melihat Rasulullah menciummu, maka saya tidak akan menciummu.
3) Sahabat Rasulullah SAW baik pada waktu beliau masih hidup maupun sesudah wafat, telah bersepakat wajib mengikuti sunnaah Nabi, tanpa membedakan antara wahyu yang diturunkan dalam Al-Qur’an dengan ketentuan yang berasal dari Rasulullah SAW.
d. Sesuai dengan petunjuk akal atau dalil Aqli.
Dalil aqli sebagian besar ayat Al-Qur’an mengandung hukum yang masih global dan memerlukan penjelasan secara rinci. Tanpa penjelasan dan keterangan kewajiban-kewajiban itu serta bagaimana cara melaksanakanya belum dapat diamalkan. Oleh karena itu penjelasan dan keterangan diperlukan dan penjelasan serta keterangan itu adalah As-sunnah baik berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapan Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul telah diakui dan dibenarkan oleh seluruh umat islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada dalil yang menghapuskannya. Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dengan uraian diatas, bisa diketahui bahwa Hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran islam dan menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum dhanny, kecuali hadits yang mutawattir.
ومن يطع الرسول فقد اطاعالله
النساء : ٨٠
Artinya : “barang siapa taat pada rasul , maka sesungguhnya ia telah taat kepada allah.”(Q.S. AN- NISA :80)
Perhatiakan pula firman Allah SWT :
فان تنازعتم في شي ء فرد و ه الى الله والرسول
النساء : ٥٩
Artinya : “kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,maka kembalikanlah kepada allah dan rasul-nya.”(Q.S An-NISA:59)
Berdasarkan ayat-ayat diatas , kedudukan as-sunnah menurut imam syafi’i dapat dilihat dari tiga hal berikut :
1) Menetapkan dan menguatkan hukum yang telah ada dalam al-qur’an.
2) Memperjelas hukum yang ada dalam al-qur’an secara mujmal, membatasi hukum al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan hukum yang bersifat umum.
3) Membuat atau menciptakan dan melengkapi hukum yang tidak ada dalam al-qur’an.

2. Fungsi / Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
Fungsi Hadits sebagai penjelas (bayan) terhadap al-qur’an ada 4 macam, yaitu:
a. Bayan Al-Taqrir
Bayan at-taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al-qur’an. Fungsi hadits ini hanya memperkokoh isi kandungan al-qur’an sekalipun dengan redaksi yang berbeda namun ditinjau dari substansinya mempunyai makna yang sama. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh hadits yang di riwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi :
فإذا رأيتم الهلال فصوموا و إذا رأيتموه فأفطروا ( رواه مسلم )
Artinya : “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah. (HR. Muslim)
Hadits ini mentaqrir (menetapkan) ayat al-Quran Surah. Al-Baqoroh : 185 yang berbunyi :
 فَمَن شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه
Artinya : “Maka barangsiapa yang mempersaksikan  pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...”
Karena ayat al-quran dan hadist diatas mempunyai makna yang sama maka hadist tersebut berfungsi sebagai bayan taqrir, mempertegas apa yang telah disebut dalam al-quran.
b. Bayan Al-Tafsir
Bayan al-tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat al-qur’an yang masih bersifat umum.
Diantara contoh tentang ayat-ayat al-qur’an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan sholat. Banyak sekali ayat-ayat terkait perintah kewajiban sholat dalam al-Quran. Salah satunya sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Baqoroh ayat : 43
واقيموا الصلاة واتوا الزكاة واركعوا مع الرا كعين
Artinya : “dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.”
Ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban sholat tetapi tidak dirinci atau dijelaskan bagaimana operasionalnya, berapa rokaatnya, serta apa yang harus dibaca dalam setiap gerakan sholat. Kemudian Rasulullah memperagakan bagaimana mendirikan sholat yang baik dan benar. Hingga beliau bersabda :
صلوا كما رايتموني اصلي(رواه البخاري)
Artinya : “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat”. (HR.Bukhori.)
Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak adalah seperti sabda rasullullah :
 أتي رسول الله صلى الله عليه و سلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف
Artinya : “Rasullullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.”
Hadits ini men-taqyid  QS.Almaidah : 58 yang berbunyi :

والسارق و السارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالامن الله و الله عزيز حكيم
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan, dan sebagai siksaan dari Allah sesungguhnya Allah maha Mulia dan Maha Bijaksana.”
Dalam ayat diatas belum ditentukan batasan untuk memotong tangannya. Bisa jadi dipotong sampai pergelangan tangan saja, atau sampai siku-siku, atau bahkan dipotong hingga pangkal lengan karena semuanya itu termasuk dalam kategori tangan.  Akan tetapi, dari hadist nabi tersebut, kita dapat mengetahui ketetapan hukumnya secara pasti yaitu memotong tangan pencuri sampai pergelangan tangan.
Sedangkan contoh hadits yang berfungsi untuk mentakhshish keumuman ayat-ayat al-Quran, adalah :

 قال النبي صلى الله عليه و سلم لا يرث المسلم الكافر و لا الكافر المسلم ( رواه البخارى )
Artinya : “Nabi SAW bersabda : “tidaklah seorang muslim mewarisi dari orang kafir , begitu juga kafir tidak mewarisi dari orang muslim.”
Hadits tersebut mentakhshish keumuman ayat :
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين ( النساء : 11 )
Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian anak perempuan.” (QS. An- Nisa : 11.

c. Bayan At-Tasyri’
 Bayan at-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Quran, atau dalam al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya saja. Seperti contoh berikut:
أن الرسول الله صلى الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين  (رواه المسلم )
Artinya : “Bahwasahnya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitroh kepada umat islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuam muslim.” (HR. Muslim).
Hadits Rasulullah yang termasuk bayan al-tasyri’ ini, wajib diamalkan, sebagaimana mengamalkan hadits-hadits lainnya.
Namun demikian, sebagian ulama membantah bahwa sunnah dapat membentuk hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Quran. Karena menurut mereka, sunnah tidak dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum baru.
d. Bayan Al-Nasakh
Nasakh menurut bahasa berarti (membatalkan dan menghilangkan), oleh para ahli Ushul Fiqih diartikan dengan: “Penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i yang datang kemudian”.
Dalam menasakh al-Qur’an dengan sunah/hadist ini terdapat dua macam pendapat di antara para ahli Ushul tentang boleh tidaknya. Pendapat pertama menyatakan, menasakh Alquran dengan Sunah diperkenankan, asalkan dengan Sunah Mutawatir atau Sunah Masyhur, bukan sunah Ahad. Sedang pendapat kedua menyatakan, menasakh Alquran dengan Sunah tidak dibolehkan, karena derajat al-quran lebih tinggi dari pada Sunah. Padahal syarat nasikh itu adalah yang lebih tinggi derajatnya atau sepadan.
Contoh hadist yang berfungsi sebagai bayan al-naskh :
لا وصية لوارث
Artinya ; “Tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Hadist ini menaskh firman Allah :
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين و الأقربين بالمعروف حقا على المتقين (البقرة : 180)
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa).” (QS. Al-Baqoroh : 180).

3. Hadits Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya : “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44).
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan :

مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Artinya : “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini.” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas. Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja). Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.

4. Nabi Muhammad sebagai Sandaran Hadits.
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa pada prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
a. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
1) Berpuasa Wishal Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
2) Boleh beristri lebih dari empat wanita Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
b. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
1) Shalat Dhuha’ Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
2) Qiyamullail Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
3) Bersiwak Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.
4) Bermusyawarah Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
5) Menyembelih kurban (udhhiyah) Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
c. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
1) Menerima harta zakat Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
2) Makan makanan yang berbau Segala jenis makanan yang berbau kurang sedap hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu.
d. Sedangkan bagi umatnya hukumnya halal, bagi Nabi hukumnya makruh.
1) Makan jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW.
2) Haram menikahi wanita ahlulkitab Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi. Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”
Khabar menurut bahasa adalah “Semua berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.” Menurut ahli hadits, khabar sama dengan hadits. Keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu’, mauquf, dan maqthu’, dan mencakup segala sesuatu yang datang dari Nabi, sahabat, dan tabi’in. Adapun atsar berdasarkan bahasa sama pula dengan khabar, hadits.
Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. “Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu’.
Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an adalah sebagai : Bayan al-Taqrir (penjelasan memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Bayan al-Tafsir (menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an). Bayan al-Tasyri’ (mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja). Bayan al-Nasakh (menghapus, menghilangkan, dan mengganti ketentuan yang teradapat dalam Al-Qur’an).

B. SARAN
Setelah pempelajari sumber-sumber ajaran Islam, dalil kehujjahan dan fungsi hadits diharapkan tidak lagi terjadi salah penafsiran terhadap semua hal tersebut. Karena itu, sudah seharusnya kita memperdalam ilmu pengetahuan supaya kita mampu memahami semua sumber-sumber ajaran Islam, dalil kehujjahan dan fungsi hadits tersebut.
Betapa mulianya As-Sunnah yang mempunyai kedudukan kedua menentukan hukum setelah Al-Qur’an, maka dari itu kita harus berpegang teguh kepada kedua hal ini agar kita selamat dalam dunia dan akhirat seperti hadits Nabi Saw:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما
كتاب الله وسنة رسوله
(رواه الحاكم)


DAFTAR PUSTAKA

Suryadilaga, Dr. M Alfatih, dkk, Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras, 2010.

Rofiah, Khusniatu.Studi Ilmu Hadits. Yogyakarya: STAIN PO Press. 2010.

Ahmad, Muhammad dan M. Mudzaki.Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2004.

Suparta, Munzier. ILMU HADITS . Jakarta : Fajar Interpratama Offset, 2003

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Logos, 1998

Ash Shiddieqy,1976, POKOK POKOK ILMU DIRAYAH HADITS (JILID II), Bulan Bintang, Jakarta.

Mudasir, 1999, ILMU HADIS, CV.PUSTAKA SETIA, Bandung.

www.wikipedia.com

http://4referensiku.blogspot.com

http://abdullah21.wordpress.com/2008/10/13/sumber-%E2%80%93-sumber-ajaran-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar