Kamis, 02 Juni 2016

MAKALAH FIQH “PERWALIAN DALAM ISLAM”

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengikatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur. Naluri untuk hidup bersama ini dapat diwujudkan dengan dilakukan perkawinan yang di Indonesia diatur dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 19974 tentang Perkawinan. Perkawinan amat penting bagi kehidupan manusia, baik perseorangan ataupun kelompok dengan jalinan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan di antara makhluk tuhan lainya.
Menurut hukum Islam, perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab kabul. Ijab dicapkan pihak perempuan yang menurut kebanyakan fuqaha dilakukan oleh walinya atau wakilnya, sedang kabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki.
Keharusan adanya seorang wali dalam pernikahan menjadi  syarat dan rukun, meskipun ada pendapat yang tidak mengharuskannya. Kedudukan wali dalam perkawinan sebagian ulama menyebutkannya sebagai rukun dan sebagian lagi menyebutkannya sebagai syarat. Perwalian hanya dijabat oleh keluarga laki-laki dari pengantin wanita.
Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya perkawinan yang sah.  Namun demikian dalam pelaksanaannya juga ditemukan adanya perselisihan mengenai wali, di mana dalam praktek adakalanya perkawinan yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri tetapi ternyata ada pihak lain yang keberatan.
Padahal wali nikah merupakan salah satu rukun nikah, dalam sabdanya Rasulullah Saw mengatakan “Tidak ada Nikah tanpa wali” artinya perkawinan tidak sah apabila tidak disetujui oleh walinya. Terhadap hal ini tentunya memerlukan upaya penyelesaian melalui penetapan hakim Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu wali nikah ?
2. Bagaimana kedudukan dan fungsi wali nikah ?
3. Apasaja syarat-syarat seorang wali ?
4. Bagaimana pembagian wali dalam Islam ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui dan mengerti pengertian dari wali nikah.
2. Memahami kedudukan dan fungsi wali nikah.
3. Mengetahui syarat-syarat seorang wali nikah.
4. Mengetahui dan mengerti pembagian wali nikah dalam Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN WALI NIKAH
Secara etimlogis, alwilayah (wali) berasal dari ungkapan wala' asy-syaya' wa ala' alayh iwilayatan/walayatan yang berarti "Mengusainya". Ada juga yang mengatakan wala' fulanan wilayatanwa walayatan "membantu dan menolongnya". Sedangkan alwalayatan di tafsirkan dengan pertolongan, sedangkan al wilayat di tafsirkan kekuasaan dan kekuatan.  Dari makna demikian di sebutkanlah bahwa wali bagi seorang wanita ialah yang mempunyai hak/kekuasaan untuk melakukan akad pernikahannya dan ia tidak membiarkannya diganggu oleh orang lain.
Sedangkan dalam pengertian terminologis perwalian (wilayah) ialah kekuasaan secara syariat yang di miliki orang yang berhak untuk melakukan tasrharuf (aktifitas) dalam kaitan dengan keadaan/urusan orang lain utnuk membantunya.  Dan ada pemahaman lain tentang wali perwakilan dengan definisi suatu wewenang syar'i atas segolongan manusia, yang di limpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang di kuasai tersebut, demi kemaslahatan sendiri.  Semua pengertian ini mengacu kepada kodrat kemanusiaan di mana perempuan sangat membutuhkan kehadiran wali.
Yang dimaksud dengan perwalian dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Memang tidak ada suatu ayat Al-Qur’an pun yang secara jelas menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan yang ada hanya ayat-ayat yang dapat dipahami menghendaki adanya wali seperti dalam surat al-baqarah ayat 221.

وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَـٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ ﴿٢٢١﴾

Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguh hamba sahaya perempuan yan beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beiman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya yang beriman lebihbaik dari pada laki-laki musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak keneraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-nya. ( ALLAH ) menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.   ( Al-baqarah Ayat 221 ).

B. KEDUDUKAN DAN FUNGSI WALI NIKAH
1. Kedudukan Wali Nikah
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadits yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Selain itu hadits-hadits yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan keshahihannya kecuali hadits Ibnu Abbas.
Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu:
a. Jumhur ulama, Imam Syafi'I dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal). 16 Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya:
1) Q.S. An Nur/24 : 3
وأنكحوا الأيامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم… (النور\ (٣٢ :٢٤
Artinya : "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki perempuan..." (Q.S. An Nur:24/ 32).
2) Hadits Nabi SAW dari Abi Musa Al Asy'ari.
عن ابى موسى عن ابيه رضي الله تعالى عنهما قال: قال رسول الله ص.م.: لا نكاح إلا بولي (رواه أحمد و الأربعة و صحه ابن المد ينى و الترمذى وابن حبان)۱۷
Artinya : “Dari Abi Musa Al- Asy'ari dari Ayahnya ra berkata Rasulullah SAW bersabda : "Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali" (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hiban).
Jumhur berpendapat bahwa hadits ini secara dzahir menafikan (meniadakan) keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan sempurnanya akad nikah.
3) Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah
عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله ص.م. : أيما إمرأة نكاحت بغير إذن وليهافنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحهاباطل.فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها وإن اشتجروافالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه أحمد) ١٨
Artinya: " Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: "Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali." (HR. Ahmad).
Hadits diatas mengandung beberapa pengertian :
- Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali , maka hukumnya batal.
- Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya mewajibkan kepada laki-laki pelaku untuk membayar mahar mitsil.
- Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau memang tidak ada wali, maka sulthanlah walinya atau wali hakim.

b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali.  Alasan yang mereka kemukakan antara lain:
1) Q.S. Al- Baqarah : 2/232
وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن ... (البقرة\٢: ٢٣٢)
Artinya : " Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…" (Q.S. Al-Baqarah: 2/ 232).
Menurut mereka ayat diatas merupakan dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk mengawinkan dirinya sendiri.
2) Dari Hadits Ibnu Abbas r.a. yang telah disepakati shahihnya, yaitu :
عن ابن عباس قال: قال رصول الله ص.م.: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى نفسها و إذنها صما تها, وفى رواية لأبى داود والنسائى : ليس للولي مع الثيب أمر واليتيمة تستأم (رواه بخرى و مسلم)۱۹
Artinya: " Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi SAW bersabda: "Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu Daud dan An- Nasa'I: "Tidak ada urusan wali terhadap janda; dan gadis yang tidak mempunyai Bapak (yatimah)"(HR. Bukhori dan Muslim).
Hadits ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita (janda) mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya. Sedangkan untuk gadis apabila dimintai persetujuannya, karena ia masih pemalu maka cukup dengan diamnya Hal ini dianggap sebagai jawaban persetujuannya.
Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu'amalat menurut syara', maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.
Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I'tiradh (mencegah perkawinan).

c. Selanjutnya Imam-imam yang lainpun berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, di antaranya :
1) Daud Dzahiry
Beliau berpendapat bahwa bagi janda, wali tidak menjadi syarat dalam akad nikah, sedangkan bagi gadis wali menjadi syarat
2) Asy- Sya'bi dan Az- Zuhry
Mereka berpendapat bahwa wali menjadi syarat kalau calon suami tidak sekufu' dengan calon istri, sebaliknya kalau calon suami sekufu', maka wali tidak menjadi syarat.
3) Abu Tsur
Beliau berpendapat bahwa nikah sah apabila wali memberi izin dan batal kalau wali tidak memberi izin.

d. Madzhab malikiyah, syafi'iyah, hambaliyah, serta mayoritas fuqaha telah sepakat pentingnya keberadaan wali dalam akad pernikahan. Setiap pernikahan tanpa menghadirkan wali maka pernikahan tersebut menjadi batal-tidak sah.

2. Fungsi Wali Nikah
Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan persetujuannya oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri.
Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang. Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering mendahulukan perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan sesuatu yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.
Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab (penawaran), sedang pengantin laki-laki yang diperintahkan mengucapkan qabul (penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah pemalu, maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya.  Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam akad nikahnya.


C. SYARAT-SYARAT WALI NIKAH
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali).
2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali).
3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali).
4. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali).
5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali).
6. Tidak sedang ihrom atau umroh.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah. Syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat keempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam.  Allah berfirman:
…ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء\٤ : ١٤١)
Artinya : " … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141).
Sedangkan dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, syarat-syarat menjadi wali adalah :
a. Beragama Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Tidak dipaksa
e. Terang lelakinya
f. Adil (bukan Fasik)
g. Tidak sedang ihrom haji atau umroh
h. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (Mahjur bissafah).
i. Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.
Dari beberapa pendapat diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa persyaratan untuk menjadi wali secara umum adalah :
a. Islam
Orang yang bertindak sebagai wali bagi orang Islam haruslah beragama Islam pula sebab orang yang bukan beragama Islam tidak boleh menjadi wali bagi orang Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
…ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء\٤ : ١٤١)
Artinya : " … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141).
b. Baligh
Anak-anak tidak sah menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan berpikir dan bertindak secara sadar dan baik.  Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
عن علي رضي الله عنه عن النبي ص.م. قال : رفع القلم عن أمتى عن ثلاثة : عن النائم حتّى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق (رواه أبو داود)٨
Artinya: “Dari Ali ra. Dari Nabi SAW. Bersabda : Dibebaskannya tanggungan atau kewajiban itu atas tiga golongan, yaitu : orang yang sedang tidur sampai ia terbangun dari tidurnya, anak kecil sampai ia bermimpi (baligh) dan orang gila sehingga ia sembuh dari gilanya”. ( H.R. Abu Daud).
Hadits diatas memberikan pengertian bahwa anak-anak tidak berhak menjadi wali. Ia dapat menjadi wali apabila telah dewasa.
c. Laki-laki
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله ص.م.:لا تزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها (رواه ابن ماجه والدارقطنى)٩
Artinya: "Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda "wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya"(HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni).
d. Berakal
Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali harus bertanggung jawab, karena itu seorang wali haruslah orang yang berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya atau gila atau juga orang yang berpenyakit ayan tidak dapat memenuhi syarat untuk menjadi wali.
Jadi salah satu syarat menjadi wali adalah berakal dan orang gila tidak sah menjadi wali.
e. Adil
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.  Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
عن عمران بن حصين عن النبي ص.م. قال: لا نكاح إلا بولي وشاهدىعدل (رواه أحمد بن حنبل)١٤
Artinya: "Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: "Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil"(HR.Ahmad Ibn Hambal).
Berdasarkan hadits diatas, maka seseorang yang tidak cerdas dan tidak mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan.

D. PEMBAGIAN WALI NIKAH
1. Orang-orang yang berhak menjadi wali
Jumhur ulama membagi wali menjadi dua kelompok :
a. Wali dekat atau wali qarib
Yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ia dapat mengawinkan anaknya yang masih berada dalam usia muda tanpa meminta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan ini disebut wali mujbir.ketidak harusan minta pendapat dari anaknya yang masih muda itu adalah karena orang yang masih muda tidak mempunyai kecakapan untuk memberikan persetujuan.
b. Wali jauh atau wali ab’ad
Yang menjadi wali jauh secara berurutan adalah :
1) Saudara laki-laki kandung,kalau tidak ada pindah kepada
2) Saudara laki-laki seayah,kalau tidak ada pindah kepada
3) Anak saudara laki-laki kandung,kalau tidak ada pindah kepada
4) Anak saudara laki-laki seayah,kalau tidak ada pindah kepada
5) Paman kandung ,kalau tidak ada pindah kepada
6) Paman seayah,kalau tidak ada pindah kepada
7) Anak paman kandung,kalau tidak ada pindah kepada
8) Anak paman seayah
9) Ahli waris kerabat lainya kalau ada
10) Sultan atau wali hakim yang memegang wilayah umum

2. Macam-macam wali
a. Wali nasab
Wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Imam malik mengatakan bahwa,perwalian itu didasarkan atas keabsahan ,kecuali anak laki-laki dan keluarga terdekat lebih berhak menjadi wali. Al- mugi berpendapat bahwa kakek lebih utama daripada saudara lelaki dan anaknya saudara lelaki,karena kakek adalah asal ,kemudian paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urut-urutan saudara-saudara lelaki sampai kebawah kemudian bekas tuan kemudian penguasa.
Jumur ulama fiqih sependapat bahwa urut-urutan wali adalah sebagai berikut :
1) Ayah
2) Ayahnya ayah (kakek)terus ke atas
3) Saudara laki-laki seayah seibu
4) Saudara laki-laki seayah saja
5) Anak laki-laki saudara laki-laki saudara laki-laki seayah seibu
6) Anak laki-laki saudara laki-laki saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki dari anak laki-laki saudra laki-laki seayah seibu
8) Anak laki-laki dari anak laki-laki saudra laki-laki seayah
9) Anak laki-laki no 7
10) Anak laki-laki no.8 dan seterusnya
11) Saudara laki-laki ayah,seayah seibu
12) Saudara laki-laki seayah saja,
13) Anak laki-laki no.11
14) Anak laki-laki no.12
15) Anak laki-laki no.13 dan seterusnya
Singkatan urutan wali adalah
1) Ayah seterusnya ke atas,
2) Saudara laki-laki ke bawah,
3) Saudara laki-laki ayah kebawah.
Wali nasab dibagi menjadi dua,yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh). Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab’ad adalah sebagai berikut :
1) Apabila wali aqrabnya non muslim
2) Apabila wali aqrabnya fasik
3) Apabila wali aqrabnya belum dewasa
4) Apabila wali aqrabnya gila
5) Apabila wali aqrabnya bisu/ tuli

b. Wali hakim
Wali nikah dari hakim atau qadi. Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim kepala pemerintah ,khalifah,penguasa atau qadi nikah yang berwenang dari kepala negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
Adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :
1) Tidak ada wali nasab
2) Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad
3) Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh kurang lebih 92,5 km atau dua hari perjalanan
4) Wali aqrab dipenjara dan tidak bisa ditemui
5) Wali aqrab adol
6) Wali aqrab berbelit-belit(mempersulit)
7) Wali aqrab sedang ihram
8) Wali aqrab sendiri yang akan menikah
9) Wanita yang akan dinikahkan gila ,tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada
Wali hakim tidak berhak menikahkan :
1) Wanita yang belum baliq
2) Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) tidak sekufu
3) Tanpa izin wanita yang akan menikah
4) Diluar daerah kekuasaan.

c. Wali tahkim
Wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatanya adalah : calon suami mengucapkan tahkim, kepada calon istri dengan kalimat, “saya angkat bapak/saudara untuk menikahkan saya pada si...(calon istri) dengan mahar ...dan putusan bapak/saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab,”saya terima tahkim ini.”
Wali tahkim terjadi apabila :
1) Wali nasab tidak ada.
2) Wali nasab gaib,atau berpergian sejauh dua hari perjalanan,serta tidak ada wakilnya di situ.
3) Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).

d. Wali maula
Wali yang menikahkan budaknya, artinya majikanya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwalianya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan disini yang dimaksud terutama adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaanya.

e. Wali mujbir dan wali ‘adol
Bagi orang yang kehilangan kemampuannya seperti orng gila, perempuan yang belum mencapai umur mumayyiz, termasuk didalamnya perempuan yang masih gadis, maka boleh dilakukan wali mujbir atas dirinya. Yang dimaksud dengan berlakunya wali mujbir yaitu seorang wali berhak menikahnkan perempuan yang diwalikan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu, berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat rida atau tidaknya. Agama mengakui wali mujbir itu karena memperhatikan kepentingan orang yang diwalikan, sebab orang tersebut kehilangan kemampuan sehingga ia tidak dapat memikirkan kemaslahatan sekalipun untuk dirinya sendiri.
Adapun ijbar(mujbir) adalah hak seorang ayah(ke atas) untuk menikahan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah sebagau berikut :
1) Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan perempuan yang menjadi wilayat(calon pengantin wanita).
2) Calon suami sekufu’dengan calon istri,atau yang lebih tinggi.
3) Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka hak ijbar menjadi gugur. Sebenarnya ijbar bukan harus diartikan paksaan, tetapi lebih cocok bila diartikan pengarahan.
Wali yang tidak mujbir adalah :
1) Wali selain ayah,kakek dan seterusnya ke atas.
2) Waliyatnya terhadap wanita-wanita yang sudah baliq, dan mendapat persetujuan dari yang bersangkutan.
3) Bagi calon pengantin wanitanya janda. Maka izinya harus jelas baik secara lisan matau tulisan.
4) Bila calon pengantin wanitanya gadis, maka cukup dengan diam.
Apabila wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah baliq yang akan menikah dengan pria yang kufu’, maka dinamaka wali adol.  Jika terjadi seperti itu, maka perwalian langsung pindah kepada wali hakim bukan kepada wali ab’ad, karena adol adalah zalim,sedangkan yang menghilangkan sesuatu yang zalim adalah hakim tapi jika adolnya sampai tiga kali , berarti dosa besar dan fasiq maka perwaliannya pindah ke wali ab’ad. Lain halnya kalau adol-nya itu karena sebab nyata yang dibenarkan oleh syara’ maka tidak disebut adol, seperti wanita menikah dengan pria yang tidak kufu’, atau menikah maharya dibawah misil,atau wanita dipinang oleh pria lain yanag lebih pantas(kufu) dari peminang pertama.

3. Sifat-sifat seorang wali
Fuqah telah sepakat bahwa sifat-sifat seorang wali adalah :
a. Harus islam
b. Dewasa
c. Laki-laki
Akan tetapi, berbeda pendapat dalam hal wali dari hamba sahaya, orang fasik dan orang yang bodoh. Mengenai kecerdikan menurut mazhab maliki tidak termasuk syarat dalam perwalian. Pendapat senada juga dikemukakan oleh imam abu hanifah. Akan tetapi, Imam Syafi’i berpendapat bahwa kecerdikan menjadi syarat dalam perwalian. Sama halnya dengan pendapat Asyhab dan Abu Musy’ab, perbedaan pendapat ini disebabkan oleh kemiripan kekuasaan dalam menikahkan dengan kekuasaan(perwalian) dalam urusan harta benda. dengan demikian dapat dikemukakan bahwa orang bodoh, tidak sah menjadi wali.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Wali Nikah adalah orang yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikah tanpa adanya (wali). Kedudukan Wali Nikah ialah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa wali laki-laki.
Syarat wali yaitu Islam, Baligh, Berakal, Laki-laki, Adil, Tidak sedang ihrom atau umroh. Fungsi wali yaitu untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam akad nikahnya.
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu :
1. Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
2. Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
3. Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.

B. SARAN
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai Fiqh Munakahat yang membahas tentang Perwalian, yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca berkenan memberikan kritik dan saran apapun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-Undang dan Hukum Perdata (BW), Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981.
bd. Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan menurut Hukum Islam, Cet. Ke I, Jakarta : Pustaka Al Husna, 1986.
Drs.slamet abidin ,Drs. H.Aminuddin, fikih munakahat 1, cet 1, Bandung : cv pustaka setia,1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar