BAB I
PENDAHULUAN
A. PEMBAHASAN
Pendidikan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa. Dalam pendidikan tidak dapat dipungkiri adanya factor yang mempengaruhi proses pelaksanaan pendidikan tersebut. Adapun factor atau komponen pendidikan meliputi : tujuan pembelajaran, pendidik, peserta didik, isi (kurikulum), metode atau cara, dan situasi lingkungan. Sehingga tanpa factor tersebut tidak akan tercapai sebuah pendidikan. Salah satu factor yang paling berpengaruh adalah pendidik.
Pendidik dalam proses pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat besar karena pendidik merupakan pemegang utama dalam proses pendidikan. Adapun peranan dan kompetensi pendidik dalam proses pendidikan meliputi banyak hal, di antaranya sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan sekolah, partisipan, ekspediator, perencana, supervisor, motivator, konselor, dan tidak lupa bahwa pendidik juga sebagai orang tua kedua bagi peserta didik.
Jadi dalam melaksanakan pendidikan, pendidik sangat diperlukan. Pendidik merupakan salah satu factor atas tercapainya suatu tujuan pendidikan, tanpa adanya pendidik, mustahil pendidikan dapat berjalan dengan baik. Dalam makalah ini, penulis akan berusaha memaparkan tentang kedudukan pendidik, sifat-sifat pendidik yang baik, serta profesi guru profesional yang berhubungan dengan pendidik dalam pendidikan Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas penulis mendapatkan beberapa rumusan masalah, diantaranya :
1. Apa pengertian dan kedudukan dari pendidik ?
2. Bagaimana sifat-sifat pendidik yang baik ?
3. Bagaimana profesi guru profesionalisme ?
C. TUJUAN PENULISAN
Dari rumusan masalah di atas penulis mendapatkan tujuan dari penulisan makalah ini, diantaranya adalah dapat mengetahui :
1. Pengertian dan kedudukan dari pendidik.
2. Sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik, dan
3. Profesi guru profesionalisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN PENDIDIK
Dari segi bahasa, pendidik sebagaimana dijelaskan oleh WJS. Poerwadarminta adalah orang yang mendidik. Sedangkan dalam bahasa inggris dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan pendidik. Kata tersebut seperti teacher yang diartikan guru atau pengajar dan tutor yang berati guru pribadi atau guru mengajar dirumah. Selanjutnya, dalam bahasa arab dijumpai kata ustadz, mu’alim yang berarti guru, mu’addib berarti pendidik.
Beberapa istilah tentang pendidik tersebut mengacu kepada seorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan, atau pengalaman kepada orang lain. Dengan demikian kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dan memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya.
Adapun pengertian pendidik menurut istilah yang lazim digunakan di masyarakat telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Ahmad Tafsir, menyatakan bahwa pendidik dalam islam sama dengan teori di barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa dalam islam, orang yang paling bertanggung jawab dalam mendidik adalah orang tua anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal yaitu karena kodrat dan orang tua.
Dalam beberapa literatur kepindidikan pada umumnya, istilah pendidik sering diwakili oleh istilah guru. Istilah guru sebagaimana dijelaskan oleh Hadari Nawawi adalah orang yang kerja mengajar atau memberikan pelajaran disekolah atau kelas. Secara lebih khusus lagi ia mengatakan bahwa guru orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut tanggung jawab dalam membantu anak - anak mencapai kedewasaan masing-masing.
Tugas guru dijelaskan oleh S.Nasution menjadi tiga bagian :
1. Sebagai orang yang berkomunikasikan pengetahuan.
2. Guru sebagai model.
3. Guru menjadi model pribadi, apakah ia berdisiplin, cermat berfikir, mencintai pelajarannya, atau yang mematikan idealisme dan picik dalam pandangannya.
Selanjutnya, jika kita mencoba mengikuti petunjuk Al-Qur’an, akan dijumpai informasi, bahwa yang menjadi pendidik itu secara garis besarnya ada empat, yaitu :
a) Tuhan, Allah SWT.
Sebagai guru, Allah SWT menginginkan umat manusia menjadi baik dan bahagia hidup di dunia dan di akhirat. Dari berbagai ayat Al-Qur’an yang membicarakan mengenai kedudukan Allah sebagai guru dapat dipahami dari uraian bahwa, Allah memiliki pengetahuan yang amat luas (al-alim) dan Ia juga sebagai pencipta.
Sifat-sifat yang dimiliki Allah sebagai guru :
1) Pemurah dalam arti tidak kikir dengan ilmu-Nya.
2) Maha Tinggi.
3) Penentu, Pembimbing Dan Perkasa.
4) Mengetahui kesungguhan manusia yang beribadat kepada-Nya.
5) Mengetahui siapa yang baik dan yang buruk.
6) Menguasai cara-cara (metode) dalam membina umat-Nya melalui penegasan, perintah, pemberitahuan, kisah, sumpah, pencelaan, hukuman, keteladanan, pembantahan, mengemukakan teka-teki, mengajukan pertanyaan, memperingatkan, mengutuk, dan meminta perhatian.
b) Nabi Muhammad SAW
Sebagai guru menurut Al-Qur’an adalah Nabi Muhammad SAW. Sejalan dengan pembinaan yang dilakukan Allah terhadap Nabi Muhammad SAW., Allah juga meminta beliau agar membina masyarakat, dengan perintah untuk berdakwah (QS. Al-Mudassir:74).
Sebagai guru, Nabi memulai pendidikannya kepada anggota keluarganya yang terdekat, dilanjutkan pada orang-orang yang ada di sekitarnya, termasuk para pemuka Quraisy.
Metode yang digunakan oleh Nabi dalam mendidik yaitu :
- Menyayangi
- Keteladanan yang baik
- Mengatasi penderitaan dan masalah yang dihadapi oleh umat
- Memberi ibarat, contoh, dan sebagainya untuk menarik perhatian masyarakat.
c) Orang Tua
Sebagai guru menurut Al-Qur’an menyebutkan pendidik atau guru yang terdiri dari orang tua. Al- Qur’an menyebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki orang tua sebagai guru yaitu :
1) Memiliki hikmah atau kesadaran tentang kebenaran yang diperoleh melalui ilmu dan rasio.
2) Dapat bersyukur kepada Allah.
3) Suka menasehati anak-anaknya agar tidak mensekutukan Tuhan.
4) Memerintahkan anak-anaknya untuk mengerjakan shalat.
5) Sabar dalam menghadapi penderitaan (QS. Luqman,31 :12-19)
d) Orang Lain
Sebagai guru menurut Al-Qur’an adalah orang lain. Informasi yang amat jelas tentang hal ini antara lain dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat Al-kahfi ayat 60-82. Di dalam ayat itu disebutkan mengenai Nabi Musa yang diperintahkan agar mengikuti Nabi Khidir dan belajar kepadanya. Sebagai guru, Nabi Khidir menduga Nabi Musa pasti tidak mampu bersabar, karena tidak memiliki ilmu. Oleh karena itu Nabi Musa diminta berjanji akan berlaku sabar.
Mengapa kedudukan yang terhormat dan tinggi itu diberikan kepada guru? Para ulama menjelaskannya, karena guru adalah bapak spiritual atau bapak rohani bagi seorang murid. Atas dasar ini, maka menghormati guru pada hakikatnya adalah menghormati anak-anak kita sendiri dan penghargaan terhadap guru berarti penghargaan anak-anak kita sendiri. Jasa guru tersebut amat banyak yang terpenting yaitu :
1) Guru sebagai pemberi pengetahuan yang benar kepada muridnya, sedangkan ilmu adalah modal untuk mengangkat derajat manusia dan dengan ilmu itu pula seorang akan memiliki rasa percaya diri dan bersikap mandiri dan seperti inilah yang diharapkan dapat menanggung beban sebagai pemimpin bangsa.
2) Guru sebagai pembina akhlak yang mulia, akhlak mulia adalah tiang utama untuk menopang kelangsungan hidup suatu bangsa.
Guru pemberi petunjuk kepada anak tentang hidup yang baik yaitu manusia yang tau siapa pencipta dirinya yang menyebabkan ia tidak menjadi orang yang sombong, menjadi orang yang tahu berebuat baik kepada rasul, kepada orang tua dan kepada orang lain yang berjasa dirinya.
B. SIFAT-SIFAT PENDIDIK YANG BAIK
Untuk dapat melaksanakan tugas, seorang guru di samping harus menguasai pengetahuan yang akan diajarkan kepada murid, juga harus memiliki sifat-sifat tertentu, yang dengan sifat-sifat ini diharapkan apa yang diberikan oleh guru kepada muridnya dapat didengar dan juga dipatuhi, tingkah lakunya dapat ditiru dan diteladani dengan baik. Hal ini disepakati oleh para ahli pendidik, karena meskipun segala rencana telah disiapkan dan biaya serta perlengkapan pendidikan telah disediakan, semuanya tidak akan berarti apa-apa jika guru yang berada di depan murid tidak dapat dipatuhi dan diteladani sifat dan perbuatannya. Atas dasar inilah, para ahli sepakat menetapkan sifat-sifat tertentu yang harus dimiliki guru.
Mohammad Athiyah Al-Abrasy, menyebutkan tujuh sifat yang harus dimiliki guru. Tujuh sifat tersebut diuraikan sebagai berikut :
Pertama, seorang guru harus memiliki sifat zuhud, yaitu tidak mengutamakan untuk mendapatkan materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharapkan keridhaan Allah SWT semata-mata. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Yasin : 21, yang artinya : “Ikutilah orang yang tiada meminta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Ini tidak berarti bahwa seorang guru harus hidup miskin, melarat, dan sengsara, melainkan ia boleh memiliki kekayaan sebagaimana lazimnya orang lain. Dan ini tidak pula berarti bahwa guru tidak boleh menerima pemberian atau upah dari muridnya, melainkan ia boleh saja menerimanya, karena jasanya dalam mengajar. Tetapi semua ini jangan diniatkan dari awal tugasnya. Jika di awal kita berniat karena semata-mata mencari ridha Allah SWT, maka akan terlaksana dengan baik, dalam keadaan ada uang ataupun tidak ada uang.
Masalah pemberian upah kepada guru sebagaimana kita jumpai dalam berbagai literature memang menimbulkan perdebatan. Thasy Kubra Zadah sebagaimana dikutip oleh Asma Hasan Fahmi, mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang mencari harta dan tujuan dunia dengan ilmu yang mencari harta dan tujuan dunia dengan ilmu yang diajarkannya adalah seperti orang yang membersihkan sepatunya dengan mukanya, dan dengan demikian ia telah menjadikan bos menjadi jongos.
Dijumpai pula pendapat Imam Al-Ghazali mengenai masalah gaji guru. Menurutnya, seorang guru hanya boleh menerima upah dari tugasnya mengajar selain pelajaran agama. Pendapat ini untuk waktu dan keadaan tertentu nampaknya bisa saja diterima, yaitu pada saat para guru memiliki sumber penghasilan selain dari mengajar, seperti halnya dengan menjual karya-karya tulisnya. Namun, apabila alternative sumber nafkah tersebut tidak ada lagi, sementara kebutuhan hidup guru yang mendukung pelaksanaan tugas-tugasnya dalam mengajar tidak dapat ditunda-tunda lagi, maka guru harus diberikan gaji.
Kedua,seorang guru harus memiliki jiwa yang bersih dari sifat dan akhlak yang buruk. Athiyah Al-Abrasy mengatakan, seorang guru harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari dosa besar, pamer, dengki, permusuhan, dan sifat-sifat lainnya yang tercela menurut agama Islam.
Timbulnya ketentuan sifat guru yang demikian itu didasarkan kepada hadits Nabi SAW yang artinya : “Rusaknya umatku adalah karena dua macam orang “seorang alim yang durjana dan seorang saleh yang jahil”, orang yang paling baik adalah ulama yang baik dan orang yang paling jahat adalah orang-orang yang bodoh.” (H.R. Baihaqi)
Dalam hubungan ini Al- Ghazali mengatakan bahwa seorang yang berminat untuk belajar dan mengajar harus lebih dahulu membersihkan seluruh anggota badannya dari dosa, dan membersihkan bathin dari hal-hal yang dapat membinasakan diri seseorang, seperti takabur, dengki, riya’, permusuhan, marah, dan hal-hal lainnya yang tercela.
Ketiga,seorang guru harus ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Sifat ini Nampak sama dengan sifat yang pertama. Namun, dalam uraiannya, Athuyah Al-Abrasy mengatakan bahwa keikhlasan dan kejujuran seorang guru di dalam pekerjaannya merupakan jalan terbaik ke arah suksesnya dalam tugas dan sukses murid-muridnya. Tergolong ikhlas ini adalah seorang guru yang sesuai antara kata dan perbuatannya, melakukan apa yang iya ucapkan, dan tidak malu-malu mengatakan : “Aku tidak tahu, bila ia memang tidak tahu.” Jadi tidak usah berdusta, atau mengarang-ngarang sesuatu yang sebenarnya tidak ada, karena hal tersebut dapat menyesatkan siswa.
Keempat, seorang guru juga harus bersifat pemaaf terhadap muridnya. Ia sanggup menahan dirinya, menahan kemarahannya, lapang hati, sabar, dan tidak pemarah, karena suatu hal yang kecil. Seorang guru harus pandai menyembunyikan kemarahannya, menampakkan kesabaran, hormat, lemah lembut, kasih sayang, dan tabah dalam mencapai sesuatu keinginan.
Selain itu, guru harus memiliki kepribadian dan harga diri. Ia harus menjaga kehormatannya, menghindari hal-hal yang hina dan merendahkan dirinya, menahan diri dari sesuatu yang buruk, tidak membuat keributan, dan tidak berteriak-teriak untuk dapat dihormati. Guru juga harus memiliki sifat khusus sesuai dengan martabatnya sebagai seorang guru. Misalnya, ia harus menjaga kehebatannya dan ketenangannya dalam mengajar.
Kelima, seorang guru harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang Ayah sebelum ia menjadi seorang guru. Dengan sifat ini, seorang guru dapat menyayangi murid-muridnya seperti rasa sayangnya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya sendiri. Menyayangi anak murid yang bukan anak kandungnya sendiri merupakan pekerjaan yang secara psikologi cukup berat. Namun, apabila hal itu dapat dilakukan, maka sesungguhnya dialah seorang Ayah yang suci dan teladan. Jika ia mengutamakan murid-muridnya dengan kasih sayang, yaitu anak-anak miskin yang datang dari rumahnya masing-masing, di mana mereka mengalami penderitaan, maka hal ini merupakan kesempatan yang baik bagi guru untuk menempatkan dirinya dalam hati si anak sebagai seorang bapak yang menyayanginya.
Atas dasar yang lima itu, seorang guru sangat mengharapkan anak didiknya berhasil menjadi orang baik. Dengan demikian, seorang guru tidak segan-segan akan menasihati anak muridnya sebagaimana ia menasihati anak kandungnya sendiri, menegur anak muridnya pada saat anak muridnya menunjukkan sifat dan budi pekerti yang kurang terpuji. Hal ini dilakukan dengan lemah lembut dan menjaga perasaan si anak, yakni tidak kasar dan tidak dilakukan di depan umum.
Termasuk pula dalam arti kasih sayang, yaitu tidak memaksakan murid-muridnya dalam mempelajari sesuatu dari batas kemampuan murid-muridnya dan belum dipahaminya. Guru harus memilih mata pelajaran yang mudah dan menyenangkan. Menyampaikan pelajaran setahap demi setahap, sedikit demi sedikit, dari yang global kepada yang lebih detail, dan dari yang nyata kepada yang abstrak, dari yang umum kepada yang khusus.
Keenam, seorang guru harus mengetahui bakat, tabiat, dan watak murid-muridnya. Dengan pengetahuan ini, maka seorang guru tidak akan salah dalam mengarahkan anak muridnya. Pemahaman yang mendalam terhadap tabiat dan bakat para murid termasuk bagian yang diharuskan oleh para pakar diabad modern ini. Oleh sebab itu, sebelum seorang murid diberikan pelajaran tertentu, ia harus dites terlebih dahulu, termasuk di dalamnya adalah tes bakat dan wataknya. Dalam pendidikan Islam, seorang guru diharuskan berpengetahuan yang cukup tentang kesediaan dan tabiat anak-anaknya serta memperhatikan dengan seksama pada waktu kegiatan belajar mengajar tengah berlangsung. Dengan cara demikian, guru akan dapat memilihkan mata pelajaran yang cocok bagi anak tersebut yang sejalan dengan tabiat dan kecerdasannya.
Ketujuh, seorang guru harus menguasai bidang studi yang akan diajarkannya. Seorang guru harus sanggup menguasai mata pelajaran yang diberikan serta mendalam pengetahuannya tentang itu, sehingga pelajaran tidak bersifat dangkal, tidak memuaskan, dan tidak menyenangkan orang yang lapar ilmu.
Sifat-sifat guru tersebut di atas pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, sifat yang berkaitan dengan kepribadian. Kedua, sifat yang berkaitan dengan keahlian akademik.
Sifat-sifat tersebut tentu masih dapat ditambah yang secara keseluruhan termasuk sifat yang primer atau mutlak. Selain itu, ada lagi sifat guru yang posisinya sekunder atau tambahan, misalnya guru tersebut sebaiknya memiliki sifat suka pada seni atau berjiwa humor. Sifat ini diperlukan agar tidak menimbulkan kebosanan bagi murid dalam menerima pelajaran agar tidak menimbulkan ketegangan dan setress.
Sifat tambahan lainnya, seorng guru juga harus dapat melakukan kerjasama dengan orang tua murid, terutama pada murid yang kurang mampu menerima pelajaran atau memiliki kelainan sifat dengan murid-murid lainnya.
C. PROFESI GURU PROFESIONAL
1. Profesionalisme Guru
Posisi guru profesional sekolah merupakan institut yang kompleks (Gorton,1976;Hanson,1985;snydr & anderson, 1985), bahkan paling kompleks di antara keseluruhan institusi sosial (Hanson, 1985). Kompleksitas tersebut, bukan saja dari masukannya yang bervariasi, melainkan dari proses pembelajaran yang diselenggarakan di dalamnya (Mcphrson,dkk.,1986). Sebagai institusi yang kompleks, sekolah tidak akan menjadi baik dengan sendirinya, melainkan melalui proses peningkatan tertentu.
Dalam rangka proses peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah diperlukan guru, baik secara individual maupun kolaboratif untuk melakukan sesuatu, mengubah “status quo” agar pendidikan dan pembelajaran menjadi lebih berkualitas. Sebenarnya menuju pendidikan dan pembelajaran yang berkualitas tidak bergantung kepada satu komponen saja misalnya guru, melainkan sebagai sebuah sistem kepada beberapa komponen, antara lain berupa program kegiatan pembelajaran, murid, sarana dan prasarana pembelajaran, dana, lingkungan masyarakat, dan kepemimpinan kepala sekolah. Semua komponen dalam sistem pembelajaran tersebut sangat penting dan menentukan keberhasilan pencapaian tujuan institusional.
Program kegiatan pembelajaran, kurikulum, GBPP, hasil analisis GBPP, rencana pembelajaran, dan sejumlah pedoman pelaksanaannya, merupakan pedomam kegiatan pembelajaran, dan keberadaannya merupakan arah bagi pengelola pembelajaran dalam memberikan kesempatan kepada murid untuk mendapatkan pengalaman belajar yang maksimal, sesuai dengan tingkat kemampuannya, dan yang lebih penting lagi adalah bermanfaat bagi kehidupan yang akan datang. Sarana dan prasarana habis dan tidak habis di pakai, bergerak maupun tidak bergerak, berhubungan langsung maupun tidak dengan proses pembelajaran sangat di perlukan dalam rangka memperlancar pengelolaan pembelajaran dalam memberikan kesempatan bagi murid untuk memperoleh pengalaman belajar.
Namun, semua komponen yang teridentifikasi di atas tidak akan berguna bagi terjadinya perolehan belajar maksimal bagi murid bilamana tidak didukung keberadaan guru profesional, semua komponen dalam proses belajar mengajar materi, media, sarana dan prasarana, dana pendidikan tidak akan banyak memberikan dukungan yang maksimal atau tidak dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran tanpa keberadaan guru yang kontinue berupaya mewujudkan gagasan, ide, dan pemikiran dalam bentuk perilaku dan sikap yang unggul dalam tugasnya sebagai seorang pendidik. Guru merupakan unsur manusiawi yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan (Adler,1982). Guru merupakan unsur manusiawi yang sangat erat hubungannya dengan anak didik dalam upaya pendidikan sehari-hari di sekolah. Terlebih guru yang unggul (the excellent teacher) merupakan critical resource in any excellent teaching activities (shapero, 1985).’’....a school system is only as good as the people who make it,’’demikian yang dapat disitir dari griffiths (1982) dalam latar pembelajaran di sekolah dasar sitiran tersebut dapat di artikan bahwa peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar sangat bergantung kepada keseluruhan komponen pada sistem pembelajran di sekolah dasar, ada sebuah komponen yang paling esensial dan menentukan kualitas pembelajaran, yaitu guru. Keberadaannya sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Bilamana kita harus di suruh memilih satu di antara dua pilihan sarana yang lengkap ataukah guru yang profesional, maka posisi bargaining guru lebih tinggi dari pada sarana. Posisi bargaining keberadaan guru secara implisit pernah di kemukakan Adler (1982) bahwa’’...there are no unteachable children. there are...and teacher who fail to teach them.’’ Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya bilamana dihipotesiskan bahwa peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah tidak mungkin ada tanpa peningkatan profesionalisme para gurunya.
2. Guru Profesional
Perihal teori tentang guru profesional telah banyak dikemukakan oleh para pakar manajemen pendidikan, seperti Rice & Bishoprick (1971), dan Glickman (1981). Menurut Rice dan Bishoprick (1971) guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Profesionalisasi guru oleh kedua pasangan penulis tersebut dipandang sebagai satu proses yang bergerak dari ketidaktahuan (ignorance) menjadi tahu, dari ketidakmatangan (immaturity) menjadi matang, dari diarahkan oleh orang lain (other-directedness) menjadi mengarahkan diri sendiri. Peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (MPMBS) mempersyaratkan adanya guru-guru yang memiliki pengetahuan yang luas, kematangan, dan mampu menggerakkan dirinya sendiri dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Sedangkan Glickman (1981) menegaskan bahwa seseorang akan bekerja secara profesional bilamana orang tersebut memiliki kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Maksudnya adalah seseorang akan bekerja secara profesional bilamana memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, seseorang tidak akan bekerja secara profesional bilamana hanya memenuhi salah satu di antara dua persyaratan di atas. Jadi, betapa pun tingginya kemampuan seseorang ia tidak akan bekerja secara profesional apabila tidak memiliki motivasi kerja yang tinggi. Sebaliknya, betapa pun tingginya motivasi kerja seseorang ia tidak akan sempurna dalam menyelesaikan tugas-tugasnya bilamana tidak didukung oleh kemampuan.
Begitu banyak teori tentang guru profesional yang pernah dikedepankan oleh para pakar manajemen pendidikan, seperti Glickman dengan teori kuadrannya, Bishoprick dengan teori self-control dan self direction-nya, dan Hanson (1987) dengan teori multidimensinya. Walaupun banyak teori tentang guru profesional, namun dalam kaitan dengan implementasi peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah, berdasarkan teori-teori tersebut dan pengalaman peneliti sebagai konsultan maupun pengelola pendidikan umum maupun agama, sampai pada kesimpulan bahwa guru yang profesional adalah guru yang memiliki visi yang tepat dan berbagai aksi inovatif. Visi tanpa aksi adalah bagaikan sebuah impian, aksi tanpa visi adalah bagaikan perjalanan tanpa tujuan dan membuang-buang waktu saja, visi dengan aksi dapat mengubah dunia.
a. Guru dengan Visi yang Tepat
Ada dua tinjauan konsep sederhana tentang visi. Pertama, visi dapat diartikan secara sederhana sebagai pandangan. Guru dengan visi yang tepat berarti guru memiliki pandangan yang tepat tentang pembelajaran, yaitu :
1) Pembelajaran merupakan jantung dalam proses pendidikan, sehingga kualitas pendidikan terletak pada kualitas pembelajarannya, dan sama sekali bukan pada aksesoris sekolah;
2) Pembelajaran tidak akan menjadi baik dengan sendirinya, melainkan melalui proses inovasi tertentu, sehingga guru dituntut melakukan berbagai pembaruan dalam hal pendekatan, metode, teknik, strategi, langkah-langkah, media pembelajaran, mengubah “status quo” agar pembelajaran menjadi lebih berkualitas;
3) Harus dilaksanakan atas dasar pengabdian, sebagaimana pandangan bahwa pendidikan merupakan sebuah pengabdian, bukan sebagai sebuah proyek.
Kedua, visi dapat diartikan sebagai sesuatu yang dinamis, yaitu sebagai harapan yang ingin dicapai di masa yang akan datang. Harapan tersebut menimbulkan inspirasi, berfungsi sebagai pijakan, dan fokus seluruh pengeluaran energi guru.
b. Guru dengan Aksi Inovatif dan Mandiri
Telah ditegaskan di atas, bahwa visi tanpa aksi adalah bagaikan sebuah impian. Pernyataan tersebut dapat ditafsirkan bahwa adanya visi yang tepat pada guru, baik dalam kapasitasnya sebagai sebuah pandangan yang tepat mengenai pembelajaran maupun dalam pengertiannya sebagai sebuah harapan, tidak akan berarti apa-apa bilamana tidak diiringi dengan berbagai program kerja pembaruan menuju pembelajaran yang lebih berkualitas. Vision without action is merely a dream, vision with action can change the world, demikian kata Barker dalam Morgatroyd dan Morgan (1994). Perlu digarisbawahi, bahwa aksi yang dimaksudkan oleh Barker adalah aksi pembaruan dan pembaruan pembelajaran di sekolah/ madrasah dapat terjadi hanya dengan adanya inovasi pembelajaran.
Inovasi pembelajaran pada hakikatnya merupakan sesuatu yang baru mengenai pembelajaran, bisa berupa ide, program, layanan, metode, teknologi, dan proses pembelajaran. Dalam kaitan dengan inovasi pembelajaran, ada perbedaan perspektif di antara para teoretisi tentang dapat-tidaknya sesuatu yang baru itu disebut sebagai inovasi. Pertama, ada di antara para teoretisi yang berpendapat bahwa sesuatu yang baru dapat disebut sebagai inovasi apabila diciptakan sendiri oleh lembaga yang bersangkutan. Atau dengan memparafrase. Thomson (1966) bahwa sebuah lembaga dikatakan melakukan inovatif apabila ia menciptakan dan menggunakan sesuatu yang baru (idea generation and use). Pada perspektif pertama tersebut, inovasi dianggap sinonim dengan invensi; yaitu proses kreatif memadukan dua atau lebih konsep yang ada sehingga menjadi sebuah konfigurasi baru yang sebelumnya tidak diketahui orang-orang yang terlibat. Berorientasi pada perspektif tersebut maka proses inovasi pembelajaran di sekolah dasar tidak saja mengandung unsur implementasi, melainkan juga, atau diawali dengan penciptaan inovasi pembelajaran.
Kedua, di antara para teoritisi ada yang berpendapat bahwa sesuatu yang baru itu, untuk dikatakan sebagai sebuah inovasi, tidak harus diciptakan sendiri oleh pihak internal lembaga. Dalam pengertian, sesuatu yang baru itu dapat dikatakan sebagai inovasi apabila sesuatu yang baru tersebut betul-betul baru, belum pernah diterapkan, terlepas apakah diciptakan sendiri oleh lembaga yang bersangkutan maupun diadopsi dari lembaga lain. Bagi para penganut teori kedua tersebut, kriteria agar sesuatu dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi adalah kebaruan bagi lembaga yang menerapkannya. Demikianlah, sehingga proses inovasi pembelajaran boleh jadi sekadar proses adopsi ide, teknik, proses baru dalam pembelajaran di dalam sebuah sekolah dasar.
3. Kiat-Kiat Meningkatkan Profesionalisme Guru
Telah ditegaskan di muka betapa pentingnya guru profesional dalam upaya peningkatan mutu berbasis sekolah. Pertanyaannya sekarang adalah kiat-kiat apa yang dapat digunakan dalam rangka meningkatkan profesionalisme? Atau apa yang dapat dilakukan dalam upaya membuat guru menjadi berpengetahuan luas, memiliki kematangan yang tinggi, mampu menggerakkan sendiri, memiliki daya abstraksi dan komitmen yang tinggi, lebih kreatif, dan mandiri?
Peningkatan profesionalisme guru harus dilakukan secara sistematis, dalam arti direncanakan secara matang, dilaksanakan secara taat asas, dan dievaluasi secara objektif, sebab lahirnya seorang profesional tidak bisa hanya melalui bentuk penataran dalam waktu enam hari, supervisi dalam sekali atau dua kali, dan studi banding selama dua atau tiga hari, misalnya. Di sinilah letak pentingnya manajemen guru yang efektif dan efisien di sekolah dasar.
a. Manajemen Guru di Sekolah Dasar
Manajemen guru dapat diartikan sebagai keseluruhan proses kerja sama dalam menyelesaikan masalah guru dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Manajemen guru di sekolah dasar merupakan salah satu bidang garapan manajemen sekolah dasar yang secara khusus menangani tugas-tugas berkenaan dengan pengelolaan guru yang dimiliki sekolah dasar. Dengan definisi yang sederhana tersebut ada dua hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan manajemen guru di sekolah dasar.
1) Manajemen guru itu merupakan keseluruhan proses kerja sama dalam memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan guru. Sebagai proses kerja sama berarti manajemen guru di sekolah dasar merupakan tugas yang harus diselesaikan bersama. Secara formal penyelesaian manajemen guru di sekolah dasar itu merupakan tanggung jawab kepala sekolah dasar. Walaupun demikian, dalam penyelesaiannya kepala sekolah dasar dapat meminta seorang guru atau lebih yang dipimpinnya.
2) Masalah-masalah yang dipecahkan dalam manajemen guru berupa bagaimana mendapatkan personel yang profesional bagi sekolah dasar dan mendayagunakannya secara efektif dan efisien dalam rangka menyelenggarakan pendidikan sekolah dasar. Dengan kata lain, bidang garapan manajemen guru di sekolah dasar, antara lain berupa mengupayakan adanya guru yang profesional melalui pengajuan usulan tambahan guru kepada pemerintah daerah atau melalui seleksi sendiri, menempatkan guru sesuai dengan kemampuannya, mengarahkan dan mendorong semua guru agar bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing, membina semua guru agar semakin profesional, membina kesejahteraan semua guru, dan mengurus semua hal yang berkaitan dengan mutasi, pemberhentian semua guru.
Kedua hal di atas sesuai dengan ungkapan Vanderwill dari Universitas Michigan sebagaimana dikutip Fortunato dan Waddell (1981). Vanderwill menegaskan:
... effective personnel administration as having the right numbers and the right kinds of people, at the right places, at the right times, acting in a way that provides both the organization and the individual with maximum long range benefits. (Fortunato & Waddell, 1981: 4)
Berdasarkan definisi di atas, manajemen guru di sekolah dasar mencakup persoalan-persoalan seperti berikut.
a) Berapa banyak guru yang dibutuhkan oleh sekolah dasar dalam rangka melaksanakan program sekolah?
b) Apakah setiap guru telah mendapatkan tugas sesuai dengan kemampuannya?
c) Apakah setiap guru produktif, visioner, inovatif, matang, dan mandiri?
d) Bagaimana sistem penggajian guru di sekolah dasar?
e) Apakah kenaikan pangkat bagi guru terkelola dengan baik?
f) Bagaimana pembinaan kesejahteraan guru di sekolah dasar dilakukan?
g) Bagaimana motivasi kerja guru dapat ditumbuhkembangkan secara kontinu?
h) Bagaimana supervisi pembelajaran diprogramkan secara efektif dan efisien?
Secara umum, tujuan manajemen guru adalah untuk mengupayakan keberadaan semua guru dalam jumlah yang memadai dan mengatur keberadaannya sebaik mungkin, sehingga mereka bisa bekerja secara efektif dan efisien sesuai dengan tugasnya masing-masing. Dengan merujuk kepada konsep Fortunato dan Waddel (1981) sebagaimana telah ditegaskan di atas, adanya manajemen guru yang efektif diharapkan having the right number, and the right kinds of people, at the right places, and the right times. Pengaturan keberadaan guru yang dimaksud bisa dilakukan melalui pengangkatan guru secara selektif, penempatan guru sesuai dengan kemampuannya, pembinaan kemampuan dan kesejahteraan guru secara kontinu. Dengan demikian, keberadaannya betul-betul berguna secara optimal bagi keberhasilan pencapaian tujuan lembaga. Secara rinci, tujuan manajemen guru itu adalah sebagai berikut.
a) Untuk memperlancar pelaksanaan analisis kebutuhan guru, sehingga sedini mungkin dapat dilakukan pengadaan guru baru sesuai dengan kebutuhan.
b) Untuk mempermudah penempatan semua guru sesuai dengan kemampuannya.
c) Untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman dan tertib bagi semua guru, sehingga mereka senang berada di sekolah dasar.
d) Untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembinaan kemampuan dan kesejahteraan semua guru.
e) Untuk mempermudah kegiatan-kegiatan pelaporan mengenai guru, seperti laporan tentang jumlah guru setiap akhir caturwulan, laporan jumlah mutasi guru kelas dalam satu caturwulan kepada semua pihak yang terkait, seperti Kantor Dinas Pendidikan Nasional, atau kepada yayasan atau lembaga yang menaunginya.
Di atas telah ditegaskan bahwa tujuan manajemen guru adalah mengupayakan dan mengatur keberadaan semua guru dengan sebaik-baiknya sehingga mereka bisa bekerja secara efektif dan efisien. Mereka dapat bekerja secara efektif dan efisien apabila memiliki kemampuan sesuai dengan persyaratan dan kemauan mengabdi kepada pendidikan. Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen guru di sekolah dasar.
Pertama, guru sekolah dasar itu seharusnya orang yang memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan pendidikan sekolah dasar. Oleh karena itu, apabila akan mengangkat guru baru untuk sekolah dasar baru misalnya, maka yang diangkat adalah orang yang memiliki kemampuan mengelola kelas atau mengelola program kegiatan belajar bagi siswa sekolah dasar.
Kedua, keberadaan semua guru di sekolah dasar diharapkan bisa bekerja dengan sebaik-baiknya atas dasar kesadarannya sendiri, bukan karena terpaksa oleh perintah pimpinan (kepala sekolah). Dalam rangka itu, perlu diupayakan berbagai pendekatan dalam mendorong, menggerakkan, mengarahkan, dan mendelegasikan tugas-tugas kepada mereka, yang dapat menumbuhkan kesadaran mereka untuk bekerja dengan sebaik-baiknya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pendidik adalah orang yang mendidik. Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya yang telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia.ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah.
Kedudukan seorang pendidik : Pertama, di dalam Al-Qur’an, kedua, di dalam hadits, ketiga, di dalam system pendidikan nasional.
Seorang guru harus memiliki sifat zuhud, jiwa yang bersih dari sifat dan akhlak yang buruk, ikhlas dalam melaksanakan tugasnya, bersifat pemaaf terhadap muridnya, dapat menempatkan dirinya sebagai orang tua sebelum ia menjadi seorang guru, seorang guru juga harus mengetahui bakat dan watak para muridnya,seorang guru harus menguasai bidang studi yang akan diajarkannya. Jika seorang guru mempunyai sifat-sifat tersebut, maka guru tersebut dapat dikatakan guru yang profesioanal.
B. SARAN
Sebagai mahasiswa dan calon pendidik, kita wajib mengetahui bagaimana pendidik dalam Islam, bagaimana sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang baik, bagaimana guru professional, dan bagaimana posisi guru yang professional sebagai bahan untuk lebih meningkatkan efektivitas guru profesional serta dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk lebih meningkatkan kemampuan yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Bafadal, Ibrahim. Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar. Jakarta : PT.
Bumi Aksara. 2001
Nasution, S. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bina
Aksara. 1988.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru). Jakarta : Gaya Media
Pratama. 2005.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung : Remaja
Rosda Karya. 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar