BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kognitif merupakan salah satu aspek penting dari perkembangan peserta didik yang berkaitan langsung dengan proses pembelajaran, dan sangat menetukan keberhasilan mereka di sekolah. Guru dan mahasiswa calon guru khususnya sebagai tenaga pendidik yang bertanggung jawab melaksanakan interaksi edukasional di dalam kelas, perlu memahami hal yang berkaitan dengan perkembangan kognitif. Karena dengan bekal tersebut dapat membantu guru dalam melaksanakn proses pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan kognitif peserta didik.
Perkembangan kognitif peserta didik merupakan suatu hal yang penting diketahui oleh tenaga pendidik sehingga pembelajaran yang disuguhkan penuh dengan makna. Hal ini mempengaruhi cara pendekatan dan proses pendidikan yang diberikan. Semakin banyak tenaga pendidik mempelajari perkembangan peserta didik, semakain banyak dipahami tentang cara yang tepat untuk kegiatan pembelajaran peserta didik.
Proses perkembangan anak dapat dilihat dari perkembangan kognitif, bahasa, dan emosionalnya. Namun, kajian dalam makalah ini hanya menekankan pada aspek kognitif saja. Jika hal ini terabaikan oleh pendidik maka kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan tidak akan memberikan makna dalam perkembangan peserta didik.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah di atas, penulis dapat menyimpulkan rumusan masalah, diantaranya :
1. Apa itu perkembangan kognitif ?
2. Bagaimana arti penting perkembangan kognitif bagi proses belajar siswa ?
3. Bagaimana sifat anak dalam proses perkembangan ?
C. TUJUAN PENULISAN
Dari rumusan masalah di atas, penulis dapat menyimpulkan tujuan penulisan makalah ini, diantaranya untuk memahami dan mengerti :
1. Pengertian perkembangan kognitif.
2. Arti penting perkembangan kognitif bagi proses belajar siswa.
3. Sifat anak dalam proses perkembangan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ARTI PENTING PERKEMBANGAN KOGNITIF BAGI PROSES BELAJAR SISWA
Program pengajaran di sekolah yang baik adalah yang mampu memberikan dukungan yang besar kepada para siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan mereka. Sehubungan dengan ini, setiap guru sekolah selayaknya memahami seluruh proses dan tugas perkembangan manusia, khususnya yang berkaitan dengan masa prayuwana dan yuwana, yakni anak-anak dan remaja yang duduk di sekolah dasar dan menengah. Pengetahuan mengenai proses perkembangan dengan segala aspeknya sangat banyak manfaatnya, antara lain :
1. Guru dapat memberikan layanan bantuan dan bimbingan yang tepat kepada para siswa dengan pendekatan yang relevan dengan tingkat perkembangannya.
2. Guru dapat mengantisipasi kemungkinan timbulnya kesulitan belajar siswa tertentu, lalu segera mengambil langkah penanggulangan yang tepat sesuai dengan taraf perkembangannya.
3. Guru dapat mempertimbangkan waktu yang tepat dalam memulai aktivitas proses belajar-mengajar bidang studi tertentu untuk sekelompok siswa dalam fase perkembangan tertentu.
4. Guru dapat menemukan dan menetapkan tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Pembelajaran dalam hal ini berarti proses atau cara guru membuat muridnya belajar (KBBI, 1991 : 14).
Salah satu kesulitan pokok yang dialami para guru dalam semua jenjang pendidikan adalah menghayati makna yang dalam mengenai hubungan perkembangan khususnya ranah kognitif dengan proses belajar-mengajar yang menjadi tanggung jawabnya.
Ranah psikologi siswa yang terpenting adalah ranah kognitif. Ranah kejiwaan yang berkedudukan dalam otak ini, dalam perspektif psikologi kognitif adalah sumber sekaligus pengendali ranah kejiwaan lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa).
Demikian pula halnya orang yang menyalahgunakan kelebihan kemampuan otak untuk memuaskan hawa nafsu, dengan mempertuhan hawa nafsunya, martabat orang tersebut tidak lebih dari martabat hewan atau mungkin lebih rendah lagi. Kelompok orang yang bermartabat rendah ini dilukiskan dalam surat Al-Furqan : 44, yang artinya : “Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka mendengar atau memahami. Meereka itu, tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.”
Selain itu, orang yang memiliki kelebihan pengetahuan yang sudah tentu karena kelebihan kemampuan otak, apabila tidak disertai dengan iman mungkin pula akan memanipulasi kebenaran dari Allah yang semestinya dipertahankan. Orang-orang seperti ini dikecam oleh Allah dalam surat Al-Baqarah : 75, yang artinya : “Apakah engkau masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal seglongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya sedang mereka mengetahui.”
Itulah sebabnya, pendidikan dan pengajaran perlu diupayakan sedemikian rupa agar ranah kognitif para siswa dapat berfungsi secara positif dan bertanggung jawab dalam arti tidak menimbulkan nafsu serakah dan kedustaan yang tidak hanya akan merugikan dirinya sendiri saja, tetapi juga merugikan orang lain.
1. Mengembangkan Kecakapan Kognitif
Upaya pengembangan kognitif siswa secara terarah baik oleh orang tua maupun oleh guru, sangat penting. Upaya pengembangan fungsi ranah kognitif akan berdampak positif bukan hanya terhadap ranah kognitif sendiri, melainkan juga terhadap ranah afektif dan psiko-motor.
Sekurang-kurangnya ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang amat perlu dikembangkan segera khususnya oleh guru, yakni :
a. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran.
b. Strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasinya serta menyerap pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.
Tanpa pengembangan dua macam kecakapan kognitif ini, sepertinya siswa sulit diharapkan mampu mengembangkan ranah afektif dan psikomotornya sendiri.
Strategi adalah sebuah istilah popular dalam psikologi kognitif, yang berarti prosedur mental yang berbentuk tatanan tahapan yang memerlukan alokasi upaya yang bersifat kognitif dan selalu dipengaruhi oleh pilihan-pilihan kognitif atau pilihan-pilihan kebiasaan belajar siswa. Pilihan kebiasaan belajar ini secara garis besar terdiri dari :
a. Menghafal prinsip yang terkandung dalam materi.
b. Mengaplikasikan prinsip materi.
Preferensi kognitif yang pertama pada umumnya timbul karena dorongan luar (motif ekstrinsik) yang mengakibatkan siswa menganggap belajar hanya sebagai alat pencegah ketidaklulusan atau ketidaknaikkan. Menurut Dart and Clarke (1990), aspirasi yang dimilikinya bukan ingin menguasai materi secara mendalam, melainkan sekedar asal lulus atau naik kelas semata. Preferensi yang kedua biasanya timbul karena dorongan dari dalam diri siswa sendiri (motif instrinsik), dalam arti siswa tersebut memang tertarik dan membutuhkan materi pelajaran yang disajikan gurunya. Siswa ini lebih memusatkan perhatiannya untuk benar-benar memahami dan juga memikirkan cara menerapkannya (Good and Brophy, 1990). Untuk mencapai aspirasi, ia memotivasi diri sendiri untuk memusatkan perhatiannya kepada aspek signifikansi materi dan mengaplikasikannya dalam arti menghubungkannya dengan materi-materi lain yang relevan.
Jadi, mengaplikasikan materi tidak selalu berarti dalam bentuk pelaksanaan dalam kehidupan nyata di luar sekolah, meskipun memang ada beberapa jenis materi yang memerlukan atau dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tugas guru dalam hal ini ialah menggunakan pendekatan mengajar yang memungkinkan para siswa menggunakan strategi belajar yang berorientasi kepada pemahaman yang mendalam terhadap isi materi pelajaran.guru diharapkan mampu menjauhkan para siswa dari strategi dan preferensi akal yang hanya mengarah ke aspirasi asal naik atau lulus. Guru juga diharapkan mampu menjelaskan nilai moral yang terkandung dalam materi yang ia ajarkan, sehingga keyakinan para siswa terhadap faedah materi tersebut semakin tebal dan pada gilirannya kelak ia akan mengembangkan dan mengaplikasikannya dalam situasi yang relevan.
Guru juga dituntut untuk mengembangkan kecakapan kognitif para siswa dalam memecahkan masalah dalam menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dan keyakinan terhadap pesan moral atau nilai yang terkandung dan menyatu dalam pengetahuannya.
2. Mengembangkan Kecakapan Afektif
Keberhasilan pengembangan ranah kognitif tidak hanya membuahkan kecakapan kognitif , tetapi juga menghasilkan kecakapan ranah afektif. Pemahaman yang mendalam terhadap arti penting materi pelajaran yang disajikan guru serta preferensi kognitif yang mementingkan aplikasi prinsip-prinsip akan meningkatkan kecakapan ranah afektif para siswa. Peningkatan ranah afektif ini antara lain, berupa kesadaran diri yang mantap.
Dampak positif lainnya ialah dimilikinya sikap mental yang lebih tegas dan lugas sesuai dengan tuntunan yang telah ia pahami dan yakini secara mendalam. Sebagai contoh, apabila seorang siswa diajak temannya untuk berbuat yang tidak baik, ia akan serta merta menolak dan bahkan berusaha mencegah perbuatan itu dengan segenap daya dan upaya nya.
3. Mengembangkan Kecakapan Psikomotor
Keberhasilan pengembangan ranah kognitif lainnya yaitu kecakapan ranah psikomotor. Kecakapan psikomotor ialah segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya yang terbuka. Di samping itu, kecakapan psikomotor tidak terlepas dari kecakapan kognitif, ia juga banyak terikat pada kecakapan afektif. Jadi, kecakapan psikomotor siswa merupakan manifestasi wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap meltalnya.
Salah satu contoh bahwa kecakapan kognitif berpengaruh besar terhadap berkembangnya kecakapan psikomotor. Para siswa yang berprestasi baik (dalam arti yang luas dan ideal) dalam bidang pelajaran agama misalnya sudah tentu akan lebih rajin beribadah shalat, puasa, dan mengaji. Dia juga tidak akan segan-segan member pertolongan atau bantuan kepada orang yang memerlukan. Karena ia merasa member bantuan adalah kebajikan (afektif), sedangkan perasaan yang berkaitan dengan kebajikan tersebut berasal dari pemahaman yang mendalam terhadap materi pelajaran agama yang ia terima dari gurunya (kognitif).
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa upaya guru dalam mengembangkan keterampilan ranah kognitif para siswanya merupakan hal yang sangat penting jika guru tersebut menginginkan siswanya aktif mengembangkan sendiri keterampilan ranah psikologis lainnya.
B. SIFAT ANAK PADA MASA PERKEMBANGAN
Anak didik kita selama masa perkembangannya itu mempunyai kehidupan yang tidak statis, melainkan dinamis, dan pendidikan yang diberikan kepada mereka haruslah disesuaikan dengan keadaan kejiwaan anak didik kita pada masa tertentu pada perkembangan tertentu.
Tentu tidak ada orang yang menyangkal, bahwa perkembangan itu merupakan hal yang continue; akan tetapi untuk dapat lebih mudah memahami dan mempersoalkannya biasanya orang menggambarkan perkembangan itu dalam fase atau periode tertentu. Masalah periodesasi ini biasanya juga merupakan masalah yang banyak diperbincangkan oleh para ahli. Para ahli sependapat bahwa periodesasi itu dasarnya lebih bersifat teknis daripada konsepsional.
Pendapat para ahli mengenai periodesasi itu sendiri juga bermacam-macam. Pendapat itu dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Periodesasi yang berdasarkan biologis.
2. Periodesasi yang berdasarkan didaktis.
3. Periodesasi yang berdasarkan psikologis.
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai tiga periodesasi tersebut.
1. Periodesasi yang Berdasarkan Biologis
Para ahli yang berpendapat tentang periodesasi berdasarkan biologis di antaranya, Aristoteles, Kretschmer, Freud, Montessori, Buhler.
a. Pendapat Aristoteles
Aristoteles menggambarkan perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa dalam tiga periode dan lamanya masing-masing tujuh tahun.
Fase I dari 0; 0 sampai 7; 0: masa anak kecil, ke masa bermain;
Fase II dari 7; 0 sampai 14; 0: masa anak, masa belajar atau masa sekolah
rendah;
Fase III dari 14; 0 sampai 21; 0: masa remaja atau pubertas (masa peralihan dari
anak menjadi orang dewasa.
Periodesasi ini didasarkan atas gejala dalam perkembangan jasmani. Hal ini mudah ditunjukkan: antara fase I dan fase II dibatasi oleh pergantian gigi, antara fase II dan fase III ditandai oleh mulai bekerjanya perlengkapan kelamin.
b. Pendapat Kretschmer
Kretschmer mengemukakan bahwa dari lahir sampai dewasa, anak melewati empat fase, yaitu :
Fase I dari 0; 0 sampai kira-kira 3; 0 disebut Fiillungs periode I; pada masa ini
anak terlihat pendek gemuk.
Fase II dari kira-kira 3; 0 sampai kira-kira 7; 0 disebut sterckungs periode I;
pada masa ini anak terlihat langsing (Jawa : nduduti).
Fase III dari kira-kira 7; 0 sampai kira-kira 13; 0 disebut Fiillungs periode II;
pada masa ini, anak kembali terlihat gemuk pendek.
Fase IV dari kira-kira 13; 0 sampai kira-kira 20; 0 disebut sterckungs periode II;
pada masa ini, anak kembali terlihat langsing.
Kehidupan kejiwaan anak pada masa tersebut juga menunjukkan sifat yang khas. Pada periode fiillung anak menunjukkan sifat jiwa yang mirip dengan orang yang berhabitus piknis, jadi seperti orang yang cyclothym: jiwanya terbuka, mudah bergaul, mudah didekati, dsb. Pada periode sterckung anak menunjukkan sifat jiwa yang mirip dengan orang yang berhabitius leptosome, jadi seperti orang schizothyme: jiwa tertutup, sukar bergaul, sukar didekati, dsb.
c. Pendapat Sigmund Freud
Freud berpendapat bahwa anak anak sampai umur kira-kira 5; 0 melewati fase-fase yang terdiferensiasikan secara dinamis, kemudian sampai umur 12;0 atau 13;0 mengalami fase latent, yaitu suatu fase dinamika semakin stabil. Bagi Freud, masa sampai umur 20;0 menentukan bagi pembentukan kepribadian seseorang.
Tiap fase dari lahir sampai umur 5;0 ditentukan atas dasar cara-cara reaksi bagian tubuh tertentu. Adapun fase-fase tersebut adalah :
1) Fase oral : 0;0 sampai kira-kira 1;0. Pada fase ini mulut merupakan daerah pokok pada aktivitas dinamis.
2) Fase anal : 1;0 sampai kira-kira 3;0. Pada fase ini dorongan atau tahanan berpusat pada fungsi pembuangan kotoran.
3) Fase falis : kira-kira 3;0 sampai 5;0. Pada fase ini alat kelamin merupakan crogen terpenting.
4) Fase latent : kira-kira 5;0 sampai kira-kira 12;0 atau 13;0. Pada fase ini implus-implus cenderung untuk ada dalam keadaan tertekan (mengendap).
5) Fase pubertas : kira-kira 12;0 atau 13;0 sampai kira-kira 20;0. Pada fase ini implus menonjol kembali.
6) Fase genital : dalam batas tertentu juga dimasukkan pendapat Montessori dan Ch. Buhler.
d. Pendapat Montessori
Menurut Montessori tiap fase perkembangan itu mempunyai arti biologis. Kodrat alam mempunyai rencana tertentu berdasarkan dua asas pokok, yaitu :
1) Asas kebutuhan vital, yaitu apa yang terkenal dengan masa peka.
2) Asas kesibukkan sendiri.
Montessori mengemukakan empat periode perkembangan, yaitu :
1) Periode I (0;0 – 7;0) adalah periode penangkapan (penerimaan) dan pengaturan dunia luar dengan perantaraan alat-dria. Ini adalah rencana motoris dan panca indra yang bersifat keragaan.
2) Periode II (7;0 – 12;0) adalah periode rencana abstrak. Pada masa ini anak mulai memperhatikan hal-hal kesusilaan, menilai perbuatan manusia atas dasar baik-buruk dan karenanya mulai timbul kata hatinya. Pada saat ini anak memerlukan pendidikan kesusilaan serta butuh memperoleh pengertian bahwa orang lainpun berhak mendapatkan kebutuhannya.
3) Periode III (12;0 – 18;0) adalah periode penemuan diri dan kepekaan rasa social. Dalam masa ini kepribadian harus dikembangkan sepenuhnya dan harus sadar akan keharusan.
4) Periode IV (18;0 - …) adalah periode pendidikan tinggi. Dalam hal ini perhatian Montessori ditujukan kepada mahasiswa di perguruan tinggi yang menyediakan diri untuk kepentingan dunia. Mahasiswa harus belajar mempertahankan diri terhadap tiap godaan kea rah perbuatan yang terkutuk.
e. Pendapat Ch. Buhler
Dalam buku Psychologie der Puberteitsjaren, Ch. Buhler mengemukakan lima fase dalam perkembangan anak, yaitu :
1) Faase I (0;0 – 1;0), yaitu fase gerak laku ke dunia luar.
2) Fase II (1;0 – 4;0), yaitu fase makin luasnya hubungan anak dengan benda di sekitarnya.
3) Fase III (4;0 – 8;0), yaitu hubungan pribadi dengan lingkungan social, serta kasadaran akan kerja, tugas, dan prestasi.
4) Fase IV (8;0 – 13;0), yaitu fase memuncaknya minat ke dunia obyektif, dan kesadaran akan akunya sebagai sesuatu yang berbeda dari aku orang lain.
5) Fase V (13;0 – 19;0), yaitu fase penemuan diri dan kematangan.
2. Periodesasi-periodesasi yang Berdasar Didaktis
Dasar didaktis yang dipergunakan oleh para ahli ada beberapa kemungkinan, yaitu : (a) apa yang harus diberikan kepada anak didik pada masa tertentu, (b) bagaimana caranya mengajar atau mendidik anak didik pada masa tertentu.
a. Pendapat Comenius
Salah satu konsepsi yang terkenal yang dikemukakan Comenius adalah tentang macam-macam sekolah yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak, yaitu :
1) Scola materna (sekolah ibu) untuk anak-anak umur 0;0 – 6;0
2) Scola vernacular (sekolah bahasa ibu) untuk anak-anak umur 6;0 – 12;0
3) Scola latina (sekolah latin) untuk anak-anak umur 12;0 – 18;0
4) Academia (akademi) untuk anak-anak umur 18;0 – 24;0
Untuk masing-masinng sekolah itu harus diberikan bahan pelajaran yang sesuai dengan perkembangan jiwa anak dan pula harus digunakan cara mendidik yang juga harus sesuai dengan perkembangan jiwa anak.
b. Pendapat J.J. Rousseau
Dalam bukunya, J.J. Rousseau engemukakan periodesasi atas dasar didaktis. Buku tersebut terdiri dari lima jilid : jilid I – IV membahas pendidikan anak laki-laki dan jilid V membahas pendidikan anak perempuan.
1) I : 0;0 – 2;0 adalah masa asuhan
2) II : 2;0 – 12;0 adalah masa pendidikan jasmani dan latihan panca indera
3) III : 12;0 – 15;0 adalah periode pendidikan akal
4) 15;0 – 20;0 adalah periode pembentukan watak dan pendidikan agama
3. Periodesasi Berdasarkan Psikologis
Tokoh utama yang semata-mata mendasarkan diri kepada keadaan psikologis ini ialah Oswald Kroh. Kroh berpendapat bahwa apabila orang berbicara tentang psikologi maka yang dipakai sebagai landasan maka haruslah juga keadaan psikologis anak, bukan keadaan biologis atau keadaan yang lain lagi. Anak-anak selama masa perkembangan mengalami masa-masa kegoncangan. Kalau perkembangan itu sekiranya dapat digambarkan sebagai proses evolusi maka pada masa-masa kegoncangan itu evolusi tersebut berubah menjadi revolusi.
Oleh Kroh masa kegoncangan ini disebut “Trotzperiode”. Selama perkembangannya anak mengalami dua kali “Trotzperiode”, yaitu :
a. Dalam tahun ketiga, terkadang juga dalam permulaan tahun keempat.
b. Pada permulaan masa pubertas, bagi anak laki-laki pada tahun ketiga belas.
Kedua Trotzperiode inilah yang membatasi antara fase yang satu dengan fase yang lainnya. Dengan demikian kita dapatkan adanya tiga fase perkembangan, yaitu :
a. Dari lahir sampai masa Trotz pertama, yang biasanya disebut masa anak-anak awal.
b. Dari masa Trotz pertama sampai masa Trotz kedua , yang biasanya disebut masa keserasian bersekolah.
c. Dari masa Trotz kedua sampai akhir remaja, yang biasanya disebut masa kematangan.
Kemudian Khonstamm mengemukakan periodesasi sebagai berikut :
a. Umur 0;0 sampai kira-kira 2;0, masa vital.
b. Umur kira-kira 2;0 sampai kira-kira 7;0, masa estetis.
c. Umur kira-kira 7;0 sampai kira-kira 13;0 atau 14;0, masa intelektual.
d. Umur kira-kira 13;0 atau 14;0 sampai kira-kira 20;0 atau 21;0, masa social.
Nampak di sini terdapat kemiripan antara pendapat Aristoteles (biologis) dan Comenius (didaktis).
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, yang kesemuanya mempersoalkan periode extra-uterin (periode di luar kandungan), sejumlah ahli memperhatikan juga kepada periode intra-uterin (periode anak ketika di dalam kandungan).
a. Masa Intra-Uterin
Permulaan kehidupan anak di dalam kandungan dimulai saat pembuahan, yaitu saat ovum dibuahi oleh spermatozoon.
Perkembangan pada masa dalam kandungan ini terutama bersifat pematangan. Sel-sel tertentu karena dasarnya pada suatu saat (pada saat telah matang) berkembang menjadi organ-organ tertentu. Pematangan itu untuk sebagian besar adalah berupa diferensiasi. Karena keadaan sel-sel yang mengelilingi berlain-lainan maka diferensiasi sel-sel itu juga menuju ke bentuk yang berbeda-beda. Pada taraf yang lebih lanjut kita dapatkan adanya tiga lapisan pada janin itu : endoderm, mesoderm, dan ectoderm. Lapisan-lapisan ini juga berinteraksi satu sama lain dan terbentuklah organ tertentu.
b. Masa Vital
1) Masa ini dimulai dengan kelahiran si anak. Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan dalam hubungan dengan soal kelahiran anak ini.
a) Pertama-tama adalah soal apakah si anak itu lahir ataukah dilahirkan.
b) Soal kedua ialah kenyataan bahwa anak yang baru lahir itu senantiasa menangis.
c) Soal yang ketiga ialah kenyataan bahwa anak manusia yang baru saja lahir sangat tidak berdaya.
2) Kemajuan pada tahun pertama dan kedua
Pada tahun pertama penyelidikan para ahli sebagian besar masih terbatas kepada perkembangan fungsi jasmaniah, dan menafsirkan perkembangan kejiwaannya atas dasar fungsi atau perkembangan jasmaniah. Geshell (1948) memberikan rata-rata kecakapan atau kemajuan anak-anak sebagai berikut :
- Penguasaan badan :
0;1 : mengamati alat permainannya, misalnya kelentang.
0;2 : memutar kepala, dapat meluruskan kepala, walaupun dengan agak susah payah.
0;3 : menarik-narik pakaian atau selimut.
0;4 : dapat meluruskan kepala, jika diangkat ke atas pada kedua tangannya.
0;5 : memperhatikan sesuatu sebentar lamanya: mengamati alat permainan yang dipegangnya
0;6 : membalik badan dari menelungkap ke letak menelentang.
0;7 : dapat menggerakkan badan ke muka jika mendapat bantuan, dapat menegakkan kepala sambil berbaring pada perutnya.
0;8 : dapat duduk dalam beberapa menit.
0;9 : jika berbaring pada punggung dia dapat menggulingkan badannya sehingga dia berbaring pada perutnya, dapat duduk dengan sedikit bantuan.
10;0 : dapat duduk tanpa bantuan dan mulai merangkak.
12;0 : merangkak dan dapat melangkah jika diberi bantuan.
- Pergaulannya dengan benda-benda :
0;1 : memandang termangu-mangu, kemudian memandang ke pintu atau jendela.
0;2 : jika disentuh, kepalan tangan segera terbuka.
0;3 : dapat sebentar menggenggam sesuatu.
0;4 : dapat memegang alat permainan atau sendok.
0;5 : menggerakkan tangan ke mulutnya, mencoba menjangkau benda-benda yang ada di dekatnya atau didekatkan kepadanya.
0;6 : memalingkan kepala kea rah lonceng yang berbunyi.
0;7 : memindahkan benda, menjangkau benda-benda walaupun tak tercapai olehnya.
0;8 : dapat sekaligus memegang dua buah benda.
0;9 : dapat membunyikan lonceng tangan, merapatkan ibu jari dan telunjuk waktu menjemput sesuatu.
10;0 : bermain, misalnya dengan bola atau balok.
12;0 : dapat membuka kotak, menyelidiki mainan, melemparkan atau menggulingkan bola.
- Pergaulannya dengan manusia :
0;1 : tersenyum memandang orang.
0;3 : menjawwab dengan tertawa, mengeluarkan pelbagai bunyi “mengenal ibu”.
0;4 : menangis, menunjukkan perasaan tak suka kalau hubungan diputuskan.
0;5 : mengikuti orang yang berjalan.
0;6 : reaksinya terhadap muka yang ramah dan yang marah berlainan.
0;7 : aktif mencari hubungan, misalnya mengeluarkan berbagai bunyi.
0;8 : bermain sembunyi-sembunyian, dapat memanggil “mama” atau “papa”.
10;0 : mencoba menarik perhatian orang dewasa.
12;0 : mengerti akan isyarat yang sederhana, misalnya melambaikan tangan, menunjuk.
Freud menamakan masa tahun pertama dalam kehidupan anak itu sebagai masa oral, karena mulut dipandang sebagai sumber keenakan dan ketidakenakan.
Pada tahun kedua anak telah belajar berjalan, dan dengan berjalan itu anak belajar pula menguasai ruang. Juga paa tahun kedua ini biasanya terjadi pembiasaan tahu akan kebersihan.
c. Masa Estetis
Kata estetis yang dipakai disini bukan berarti keindahan, akan tetapi dalam arti bahwa pada masa ini perkembangan anak yang terutama ialah fungsi panca indera dan dalam eksplorasinya dia menggunakan panca inderanya pula. Montessori menciptakan bermacam-macam alat permainan yang dimaksudkan untuk melatih panca indera. Dalam masa inilah tampak munculnya gejala kenakalan yang umumnya terjadi antara umur 3;0 sampai umur 5;0. Banyak gejala yang nampak pada anak-anak pada umur demekian, sehingga sangat menarik perhatian, baik para ahli maupun bukan ahli. Nama yang diberikan pada masa ini bermacam-macam sekali, misalnya :
- Orang Jawa menyebutnya kemratu-ratu (meraja-raja).
- Oswald Kroh menyebutnya Trotzalter.
- Langeveld menyebutnya protest-fase.
- Carp menyebutnya masa individualisering I.
- Sejumlah ahli menyebutnya pubertas I.
Di bawah ini dikemukakan beberapa jawaban atas alasan anak berbuat kenakalan dan keras kepala.
Freud menerangkan hal ini dengan teorinya tentang kompleks Oedipus. Kompleks Oedipus ini terdiri dari dorongan seksual terhadap orang tua yang berlainan jenis kelaminnya dan dorongan bermusuhan terhadap orang tua yang bersamaan jenis kelaminnya. Keterangan ini kurang diterima karena dasarnya yang “pan seksualistik”.
Keterangan yang lebih dapat diterima adalah sebagai berikut : berkat perkembangan bahasanya – yang merupakan modal pokok bagi anak dalam menghadapi dunianya – maka sampailah anak pada taraf penyadaran “aku”nya, taraf menemukan “aku”nya, yaitu suatu taraf di mana anak menemukan kenyataan dirinya sebagai subyek. Sebagai subyek dia mempunyai kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Maka ana-anak seakan-akan ingin mendapatkan pengalaman, bagaimana kiranya sebagai subyek yang bebas menentukan keinginannya itu. Sis Heyster (1950 p. 117-119) melukiskan hal tersebut sebagai “demam menghendaki”.
d. Masa Intelektual, Masa Keserasian Bersekolah
Pada masa keserasian bersekolah ini secara relative anak-anak lebih mudah dididik daripada masa sebelumnya dan sesudahnya. Freud member nama fase ini fase “latent”, di mana dorongan-dorongan “seakan-akan” mengendap (latent), tidak semenggelora masa-masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini dapat diperinci lagi menjadi dua fase, yaitu :
- Masa kelas-kelas rendah sekolah dasar (6;0/7;0 – 9;0/10;0)
- Masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar (9;0/10;0 – kira-kira 13;0)
1) Beberapa sifat khas pada masa yang pertama ini antara lain :
- Adanya kolerasi yang tinggi antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah.
- Sikap tunduk kepada peraturan permainan tradisional.
- Ada kecenderungan memuji diri sendiri.
- Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain, kalau itu menguntungkan.
- Kalau tidak dapat menyelesaikan sesuatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting.
- Pada masa ini anak menghendaki nilai yang baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas atau tidak.
2) Masa yang kedua menunjukkan sifat yang banyak berbeda dengan masa pertama. Ch. Buhler (1956) mengemukakan bahwa pada masa ini telah timbul masa kesulitan dalam pendidikan, sebagai berikut :
- Persiapan untuk sekolah lanjutan.
- Soal watak dan soal seksual.
- Soal otoritas karena anak ingin “mandireng pribadi”.
Beberapa sifat khas anak pada masa ini ialah :
- Adanya perhatian kepada kehidupan sehari-hari yang konkret.
- Amat realistic, ingin tahu, ingin belajar.
- Ada minat terhadap mata pelajaran khusus.
- Sampai umur 11;0, anak membutuhkan orang dewasa untuk menyelesaikan tugasnya dan keinginannya.
- Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat.
- Anak gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama.
Masa keserasian bersekolah biasanya diakhiri dengan suatu masa yang biasanya disebut masa peural. Sifat khas psikologis anak peur di antaranya :
1) Sifat khas yang pokok pada masa peural yaitu berkuasa dan ekstravers.
Sikap, tingkah laku dan perbuatan anak peur ditujukan untuk berkuasa, apa yang diinginkan, yang dijadikannya idam-idaman adalah si kuat, si juara, dan sebagainya.
Kecuali sikap, tingkah laku dan perbuatan anak peur berorientasi ke luar, ekstavers. Hal ini mendorongnya untuk menyaksikan keadaan dunia di luar dirinya dan untuk mencari teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan jiwanya.
2) Rasa diri dan penerimaan otoritas (kekuasaan) orang dewasa.
Di dalam cita-cita anak peur memancar perasaan akan kekuatan sendiri dan rasa dapat itu. Mereka ingin menjadi orang yang punya kekuatan besar seperti, ingin menjadi kapten perahu besar, penerbang jet, dictator, dan sebagainya.
3) Sikap anak peur terhadap otoritas (kekuasaan) :
- Sikap terhadap otoritas orang tua.
Anak dapat menerima sikap yang keras, asalkan adil dan dijalankan dengan tegas, keraguan akan dipandang anak sebagai kelemahan.
- Sikap terhadap otoritas guru.
Penyelidikan mengenai angka rapor
Penyelidikan Hetzer (1933) dan Langveld (1954) menunjukkan bahwa anak umur 9;0 – 13;0 menganggap nilai temannya dan nilainya sendiri sebagai media untuk melihat keadilan guru dan kekuatan dirinya sendiri dalam kelas.
Penelitian mengenai sikap terhadap hadiah dan hukuman.
Maksud Laki-laki Perempuan
9;0 – 12;0 12;0 – 15;0 9;0 – 12;0 12;0 – 15;0
Memperbaiki 54,7% 80,2% 60,8% 79,5%
Menakut-nakuti 24,2% 12,0% 21,4% 15,6%
Membalas (dendam) 5,4% 6,3% 7,3% 4,1%
Lain-lain 15,7% 1,5% 10,5% 1,8%
Jumlah 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
Dari data pada tabel di atas, dapat diambil kesimpulan :
- Makin tua anak maka makin sadarlah mereka bahwa tujuan hukuman untuk memperbaiki.
- Makin tua anak maka makin tepatlah mereka mengenal maksud hukuman.
- Anak perempuan mempunyai kematangan lrbih awal disbanding anak laki-laki.
4) Permainan anak peur
Karl Fuzlock (dalam Ch. Buhler, 1950) meneliti mengenai permainan bertanding yang mempergunakan tenaga jasmani anak. Dan hasilnya :
Anak Laki-laki Anak Perempuan
Umur rata-rata Banyaknya permainan Umur rata-rata Banyaknya permainan
7;6 16,3 7;6 7,3
8;6 8,3 8;6 1,3
9;7 28 9;7 4
10;10 35 10;10 15
11;10 33 11;10 23
12;6 75 12;6 15
13;6 81 13;6 12
Furrey (dalam Carmichael, 1954) meneliti anak laki-laki antara umur 12;0 – 16;0, dan hasilnya :
Macam permainan 12;0 13;0 14;0 15;0 16;0
Perang-perangan 100% 100% 61% 40% 13%
Gangsingan 100% 72% 37% 23% 14%
Kapal terbang 100% 83% 43% 27% 14%
Kelereng 100% 91% 59% 36% 19%
Panahan 100% 84% 49% 31% 13%
Berjalan/pergi 100% 80% 62% 47% 17%
Mesin-mesin 100% 100% 63% 43% 19%
KA Listrik 100% 77% 53% 23% 6%
Dapat disimpulkan, bahwa anak 12;0 masih benar-benar dalam suasana permainan, untuk kemudian makin berkurang kegemarannya dan kesibukannya, dalam hal ini pindah kea lam dewasa.
5) Bacaan pada anak peur
Pada masa peural, anak-anak gemar akan membaca dongeng menurun, sedangkan kegemaran akan cerita-cerita yang mengandung pengalaman hebat meningkat.
e. Masa Remaja
Masa remaja merupakan suatu masa yang sangat menarik perhatian para ahli. Banyak ahli berpendapat bahwa hakikat masa ini ialah kematangan kehidupan seksual.
Tetapi sebenarnya kematangan kehidupan seksual itu bukanlah satu-satunya hal, melainkan salah satu aspek saja.
Ditinjau secara psikologis :
1) Sampai berumur 3;0 anak merasa satu dengan dunia luar.
2) Pada umur 3;0 terjadilah trotzperiode I : karena perkembangannya anak secara tak sadar terpisah dari lingkungannya, dan berdiri sebagai aku yang bebas dan berhadapan dengan lingkungannya sebagai subyek yang menghadapi obyek.
3) Manusia dewasa harus hidup dalam alam nilai (kultur), dan harus menempatkan diri di antara nilai-nilai itu, maka manusia muda perlu mengenal dirinya sebagai pendukung dan pelaksana nilai-nilai.
Jadi, hakikat masa remaja terutama adalah : menemukan dirinya sendiri, meneliti sikap hidup yang lama dan mencoba-coba yang baru untuk menjadi yang dewasa.
1) Masa Pra-Remaja
Istilah ini digunakan untuk menunjukkan suatu masa yang langsung mengikuti masa peur, yang berlangsung dalam waktu singkat. Masa ini ditandai oleh sifat-sifat negative pada si remaja sehingga masa ini sering disebut fase negative. Adapun sifat-sifat negative itu adalah :
a) Sifat negative anak perempuan menurut Hetzer :
- Tak tenang
- Kurang suka bekerja
- Suasana hati tak baik, murung
- On social : menarik diri dari masyarakat dan agresif terhadap masyarakat.
b) Sifat negative pada anak laki-laki menurut Hans Hochholzer :
- Kurang suka bergerak
- Lekas lelah
- Kebutuhan untuk tidur besar
- Suasana hati tidak tetap
- Pesimistis
Atas dasar hasil penelitian di atas dan juga pendapat lain (Langeveld, 1950) dapat diambil kesimpulan :
a) Negative dalam prestasi, yaitu :
- Prestasi jasmani
- Prestasi kejiwaan
b) Negative dalam sikap social, yaitu :
- Menarik diri dari masyarakat
- Agresif terhadap masyarakat
Jadi di sini kita dapatkan sifat yang berlawanan dari masa peural. Kalau pada masa peural vitalitas melimpah, maka pada masa negative ini vitalitas menurun. Kalau pada masa peural anak bersikap ekstravers, maka pada masa negative ini anak bersikap introvers.
Akhir dari masa negative ditandai oleh :
- Kesegaran jasmani
- Kegembiraan dalam bekerja
- Suasana hati gembira
2) Masa Remaja
a) Merindu puja (mendewa-dewakan) sebagai gejala remaja
Di dalam fase negative untuk pertama kalinya anak sadar akan kesepian yang tidak pernah dialaminya pada masa sebelumnya. Reaksi pertama terhadap gangguan akan ketenangan dan keamanan jiwanya itu ialah protes terhadap sekitarnya, yang dirasanya bersikap memusuhi dan menelantarkannya.
Selanjutnya adalah kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, teman yang dapat turut serta merasakan suka dan dukanya. Di sini mulailah tumbuh dorongan untuk mencari pedoman hidup., mencari sesuatu yang dapat dipandang bernilai, pantas dijunjung tinggi, dipuja-puja. Pada masa ini, anak remaja mengalami kegoncangan batin, sebab ia tak mau lagi memakai sikap dan pedoman hidup kanak-kanaknya, tetapi belum memiliki pedoman hidup yang baru.
Proses terbentuknya pendirian hidup atau pandangan hidup dapat dipandang sebagai penemuan nilai-nilai hidup di dalam eksplorasi si remaja. Secara bagan proses tersebut melewati tiga langkah, yaitu :
- Karena tiadanya pedoman, si remaja merindukan sesuatu yang dapat dianggap bernilai.
- Pada taraf kedua, objek pemujaan itu telah menjadi lebih jelas, yaitu pribadi yang dipandangnya mendukung sesuatu nilai.
- Taraf ketiga, si remaja telah dapat menghargai nilai-nilai lepas dari pendukungnya, nilai sebagai hal yang abstrak.
b) Tipe-tipe anak remaja
Anak laki-laki kendatinya berbeda dari anak perempuan, kakak berbeda dari adik, anak kota berbeda dari anak desa, dan sebagainya.
(1) Perbedaan anak laki-laki dan anak perempuan
Sis Heyser (1950) menggolongkan anak laki-laki ke dalam tipe-tipe tersendiri dan anak perempuan ke dalam tipe-tipe tersendiri, yaitu :
- Anak laki-laki :
(a) Pencari kultur
(b) Pencinta alam
(c) Tipe karyawan
(d) Tipe vital
(e) Tipe hedonistic
- Anak perempuan :
(a) Tipe keibuan
(b) Tipe erotis
(c) Tipe romantic
(d) Tipe tenang
(e) Tipe intelektual
Perbedaan laki-laki dan perempuan :
Laki-laki Perempuan
1. Aktif dan memberi
2. Cenderung untuk memberikan perlindungan
3. Aktif meniru pribadi pujaannya
4. Minat tertuju kepada hal-hal yang bersifat intelektual, abstrak, “zakelijk”
5. Berusaha memutuskan sendiri dan ikut berbicara 1. Pasif dan menerima
2. Cenderung untuk menerima perlindungan
3. Pasif, mengagumi pribadi pujaannya
4. Minat tertuju kepada hal-hal yang bersifat emosional, konkrit, “persoonlijk”
5. Berusaha mengikut dan menyenangkan orang lain.
Langeveld (1950) dengan mendasarkan diri kepada tiga komponen, yaitu : terkendalikan atau bebas, konsekuen atau unkonsekuen, sadar atau tidak sadar, menggolong-golongkan anak remaja menjadi delapan tipe, yaitu :
(a) Golongan intelektual : terkendalikan, konsekuen, sadar
(b) Golongan tenang : terkendalikan, konsekuen, tidak sadar
(c) Golongan perenung : terkendali, unkonsekuen, sadar
(d) Golongan tanpa pedoman : terkendali, unkonsekuen, tak sadar
(e) Golongan pemuja : tak terkendali, konsekuen, tak sadar
(f) Golongan gegabah : tak terkendali, konsekuen, tak sadar
(g) Golongan perasa : tak terkendali, unkonsekuen, sadar
(h) Golongan peribut : tak terkendali, unkonsekuen, tak sadar.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Ranah psikologi siswa yang terpenting adalah ranah kognitif. Ranah kejiwaan yang berkedudukan dalam otak ini, dalam perspektif psikologi kognitif adalah sumber sekaligus pengendali ranah kejiwaan lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa).
2. Upaya guru dalam mengembangkan keterampilan ranah kognitif para siswanya merupakan hal yang sangat penting jika guru tersebut menginginkan siswanya aktif mengembangkan sendiri keterampilan ranah psikologis lainnya.
3. Pendapat para ahli mengenai periodesasi itu sendiri juga bermacam-macam. Pendapat itu dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu :
- Periodesasi yang berdasarkan biologis.
- Periodesasi yang berdasarkan didaktis.
- Periodesasi yang berdasarkan psikologis.
B. SARAN
Sebagai mahasiswa dan calon pendidik, kita wajib mengetahui apa itu perkembangan kognitif, apa arti penting perkembangan kognitif bagi proses belajar siswa, dan bagaimana sifat anak dalam perkembangan. Karena itu semua sebagai salah satu acuan pendidik dalam menjalankan proses belajar mengajar dan acuan pendidik untuk berhasil dalam proses belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Suryabrata, sumadi, Psikologi pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2002.
Syah, muhibbin, Psikologi belajar, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar